DAERAH
Merasa Direkayasa Massive Dan Terstruktur, Cucu H. BP. Ritonga Tolak Eksekusi Lelang Ruko
Padangsidimpuan, (JarrakPos)- Merasa dipermainkan dengan adanya dugaan rekayasa, terencana, massive dan terstruktur yang dimulai dari pembagian harta, “pemaksaan” putusan lelang, pelaksanaan eksekusi lelang hingga kepada diberhentikannya penyelidikan oleh polisi dengan mengeluarkan surat SP2Lid atas Laporan Pidana Dugaan Pemalsuan Tandatangan.
Cucu H. BP Ritonga atau dikenal dengan Ritonga Coy bernama Alwin Fanany Ritonga beserta saudarinya melakukan perlawanan atau menolak pelaksanaan eksekusi lelang sebuah ruko di simpang empat Lampu Merah Jl. Sudirman Kota Padangsidimpuan, Provinsi Sumatera Utara, Kamis (10/01/2025).
Perlawanan tersebut dilakukannya dengan orasi di hadapan pihak Pengadilan Agama Kota Padangsidimpuan, polisi dan masyarakat umum yang menyaksikan pelaksanaan eksekusi tersebut atas segala dugaan rekayasa atau kecurangan terhadap putusan Pengadilan Agama Kota Padangsidimpuan yang diduga memaksakan bagian harta dari ayahnya yang sudah meninggal termasuk Ruko yang dilelang dimaksud.
Pemaksaan dimaksud mengartikan kalau pembagian yang diputuskan oleh Pengadilan Agama Kota Padangsidimpuan terhadap bagian ayahnya dianggap tidak sah secara hukum dikarenakan perwakilan ayahnya dalam membuat surat kesepakatan pembagian harta tidak dihadiri dan/atau tidak ada diwakili dari pihak ayahnya bernama almarhum Hasril Ritonga.
Lantas Surat Kesepakatan Pembagian Harta tersebut yang didaftarkan ke Notaris Misbahuddin tandatangan ayahnya yang sudah meninggal tersebut ditandatangani oleh seseorang yang tidak diketahui siapa pelakunya.
Dalam surat sepakatan pembagian harta tersebut yang selanjutnya disebut Waarmarking tertulis nama seseorang dengan frasa Alm. (Almarhum) atas nama Asril Ritonga atau singkatnya Alm. Hasril Ritonga.
Diketahui Hasril Ritonga meninggal pada tahun 2012, namun beliau seolah hidup lagi pada tahun 2017 hanya untuk menandatangani surat tersebut.
Sebagai anak dari Alm. Hasril Ritonga, Alwin Fanany Ritonga melaporkan praktek ini ke Polda Sumut atas dugaan perbuatan melawan hukum melakukan tindak pidana pada pemalsuan tandatangan ayahnya.
Hal tersebut juga sudah disampaikan kepada Hakim Pengadilan Agama yang menyidangkan gugatan harta Alm. Hasril Ritonga. Namun sangat disayangkan Pengadilan Agama Kota Padangsidimpuan “tancap gas” terkesan tidak peduli dengan dugaan tandatangan palsu tersebut.
Pengadilan Agama hanya bersikukuh kepada alasan sudah ada dasar pembagian hartanya yakni Akta Notaris Pembagian Harta yang dikeluarkan oleh Notaris Misbahuddin .
Tidak tahu bodoh atau tidak, tampak pihak hakim yang menyidangkan perkara dimaksud tidak bisa membedakan produk sebuah Notaris antara yang namanya Waarmarking dengan yang namanya Akta Notaris.
Pada hikikihnya produk yang dikeluarkan oleh Notaris Misbahuddin tersebut merupakan produk Waarmarking dan/atau bukanlah Akta Notaris.
Sehingga atas ketidaktahuan atau pura-pura tidak tahu itu lantas hakim serta merta memutuskan kalau perkara pembagian harta H. BP. Ritonga yang didasari hanya kepada Waarmarking dianggap sah dengan kekuatan hukum tetap, meski orang yang meninggal dianggap halal bisa menandatangani surat kesepaktan pembagian harta.
Dalam produk putusan Pengadilan Agama Kota Padangsidimpuan dengan Register Perkara Nomor 58/Pdt.G/2021/PA.Pspk ini menurut Alwin Fanany terdapat beberapa kesalahan majelis hakim :
1. Hakim menerima produk Waarmarking sebagai Dasar Pembagian Harta
2. Hakim mengabulkan kalau orang meninggal bisa hidup kembali dalam menandatangani surat kesepakatan pembagian harta.
3. Pembagian harta tidak adil, dari nilai harta yang diperkirakan mencapai Rp. 1,3 Triliun, bagian ayahnya hanya diberikan sekitar puluhan milyar yang kemudian akan dibagi dua lagi kepada saudara tirinya, meski ayahnya merupakan anak tertua dari Alm. H. BP. Ritonga.
4. Hakim Pengadilan Agama Kota Padangsidimpuan tidak menggubris putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Padangsidimpuan pada tahun 2014 yang memutuskan pembagian harta dari Alm. H. BP. Ritonga yang harus dilaksanakan di akhir tahun 2014 , namun putusan PN Padangsidimpuan tersebut belum dilaksanakan hingga hari ini, malah sebaliknya hakim PA Kota Padangsidimpuan diduga tancap gas menciptakan putusan sendiri yang dapat menciderai putusan hukum terdahulu.
5. Hakim menerima gugatan pembagian harta dari saudara tirinya atas bagian ayahnya yang diwariskan dari Alm. H. BP. Ritonga, padahal putusan Pengadilan Agama Kota Padangsidimpuan tahun 2017 tersebut dinilai cacat hukum dimana orang yang sudah meninggal bisa menandatangani Surat Kesepakatan Pembagian Harta.
6. Hakim melaksanakan Lelang atas harta neneknya (Alm. H. BP. Ritonga) dengan mengatasnamakan cucu sebagai pelaku lelang. Yang kemudian uang lelang dibagikan oleh Pengadilan Agama Kota Padangsidimpuan kepada seluruh waris Alm. Asril Ritonga. Meski sebagian dari waris Alm. Hasril Ritonga tidak mengambilnya.
7. Hakim dan Panitera dinilai berani memaksakan Eksekusi atas lelang tersebut padahal uang hasil lelang masih di ada yang tersimpan di rekening Pengadilan Agama Kota Padangsidimpuan.
8. Panitera tidak memberikan terlebih dahulu kesempatan kepada pihak termohon eksekusi ataupun kuasa hukumnya membaca putusan eksekusi sebelum dibacakan notaris.
9. Panitera membacakan putusan eksekusi menghadap objek melainkan menghadap jalan umum.
Setelah mendengarkan keluhan tersebut , Panitera Pengadilan Agama Kota Padangsidimpuan, Nelson Dongoran menjawab agar yang keberatan melakukan gugatan balik. Namun Alwin Panany menjelaskan dari pengalaman yang dialaminya tidak bersedia melakukan gugatan lagi seraya mengatakan sampai kapanpun tidak pernah lagi percaya dengan Pengadilan Agama Kota Padangsidimpuan.
Alwin juga meminta agar Panitera Nelson Dongoran mengingat dosa karena usia sudah tua. Yang kemudian akan berangkat ke Jakarta meminta wakil Rakyat di Komisi 3 DPR RI untuk menggelar RDP (Rapat Dengar Pendapat) .
Alwin menambahkan bahwa kasus dugaan pemalsuan tandatangan sudah dilaporkan ke Polda Sumut, yang kemudian Polda Sumut melimpahkan kasus tersebut ke polres Padangsidimpuan mengingat Locus de likti nya berada di Kota Padangsidimpuan.
Namun dia merasa aneh, ternyata pihak Polres Padangsidimpuan tidak melakukan pemeriksaan terhadap 18 orang terduga merekayasa dan/atau memalsukan tanda tangan almarhum ayahnya dengan alasan tidak mau dipanggil sehingga dalam waktu yang diduga kebut tayang dengan hari H Pelaksanaan Eksekusi, maka pihak kepolisian resort kota Padangsidimpuan menghentikan Penyelidikan atas perkara yang dilaporkannya dengan mengeluarkan Surat SP2Lid.
SP2Lid yang dikeluarkan pihak Polres Padangsidimpuan menandakan kasus tindak pidana dugaan pemalsuan tandatangan dianggap selesai, sehingga pelaksanaan lelang eksekusi dapat dilakukan.
Namun sebelum dilakukan eksekusi pihak Alwin Fanany melaporkan tindakan Polres Padangsidimpuan yang buru-buru menerbitkan Surat SP2 Lid tanpa melakukan pemeriksaan ke Polda Sumut yang juga menandakan bahwa kasus dugaan tindak pidana dugaan pemalsuan tandatangan belum selesai.
Kapolres Padangsidimpuan juga sudah diberikan petunjuk dan arahan oleh Bagian Pengawasan Penyidikan Ditreskrimum Polda Sumut namun tidak diketahui apa petunjuk dan arahan tersebut.
Selain Alwin, Salah seorang kuasa hukum termohon eksekusi Alwi Ginting, SH mengatakan dirinya merasa tidak nyaman atas pelaksanaan eksekusi tersebut, karena dirinya tidak diberikan membaca isi putusan lelang eksekusi tersebut sebelum dilakukan pembacaan oleh Panitera.
Dirinya didorong oleh oknum petugas polisi yang menyebabkan dirinya dan kliennya jauh dari pembaca eksekusi dan ia juga mengalami memar dibagian leher dan sepatunya robek.
“Semestinya tugas polisi dalam suatu pelaksanaan eksekusi tidak terlibat dalam hal penghambatan tugas pengacara yang sampai melakukan tindakan fisik, polisi hanya bertugas sebagai pengamanan bilamana terjadi langkah anarkis baru polisi boleh bertindak secara fisik”, jelas Alwi.
Polisi seharusnya netral, jika polisi berpihak maka upaya penegakan hukum di negara ini akan runtuh tegasnya.
Dalam hal menyoroti Register Perkara Nomor 58/Pdt.G/2021/PA Pspk seharusnya pengadilan agama kota Padangsidimpuan harus terlebih dahulu menetapkan harta dan pembagian harta warisan dari ahli waris HBP Ritonga dulu baru kemudian terhadap pembagian waris atas nama anak HBP Ritonga yang bernama Hasril Ritonga ditetapkan dan dibagi berdasarkan hukum Islam kepada anak anaknya.. hal ini lah yang diabaikan oleh pengadilan agama kota Padangsidimpuan yang langsung membagi harta warisan HBP Ritonga kepada cucunya, padahal pembagian harta untuk atas nama ayah Alwin Fannany Ritonga yang bernama Hasril Ritonga belum dibagi dengan jelas.
Sementara itu A Ghamal Siregar, SH juga kuasa hukum Alwin mengatakan heran kepada pihak kepolisian yang menyatakan kalau dalam perkara pidana yang kliennya laporkan disebutkan tidak terdapat unsur Pidananya, padahal kata Ghamal dalam surat kesepakatan yang ditandatangani seluruh. ahli waris Alm. H. BP. Ritonga sudah terdapat seseorang yang menandatangani nama seorang yang berstatus Almarhum. Dan dikarenakan pendapat polisi mengatakan tidak ada terdapat unsur pidananya maka polisi mengeluarkan surat SP2Lid.
Bersamaan dengan itu kuasa hukum Alwin bernama Awaluddin Harahap, SH dengan suara lantangnya menyebutkan agar Komisi 3 DPR RI melihat permasalahan ini dan memperhatikannya untuk menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP), jangan hanya diam, duduk manis di bangku DPR sana.
Kemudian Awaluddin bermohon kepada penggiat hukum, praktisi hukum, media, seluruh mahasiswa hukum dan para pakar hukum agar kiranya meneliti putusan Nomor 58/Pdt.G/2021/PA.Pspk.
Saat bersamaan Waka Polres Padangsidimpuan, Kompol Rahman Takdir Harahap saat dipertanyakan apakah peran Polisi hadir dalam pelaksanaan eksekusi lelang Ruko dimaksud dan kenapa polisi tidak memberikan ruang kepada pihak termohon termasuk pengacara termohon eksekusi dalam membaca dan memberikan pembelaan atas pelaksanaan putusan lelang eksekusi ? Waka Polres tampak tidak memberikan jawaban dan hanya mengatakan wawancara nanti saja .
Demikian juga dengan Ketua Pengadilan Agama Kota Padangsidimpuan, A. Latif Rusydi Harahap, S.HI, M.A saat ditanya bagaimana bisa Hakim memutus perkara Nomor 58/Pdt.G/2021/PA.Psp dalam kedudukan Hukum seorang yang telah meninggal dunia tahun 2012 yang bernama Hasril Ritonga bisa menandatangani di tahun 2017 ? Kepada wartawan beliau mengatakan kalau dia tidak berwenang memberikan jawaban karena yang berwenang memberikan jawaban adalah Humas. *(Ali Imran).
You must be logged in to post a comment Login