NEWS
Ketinggian Bangunan 15 Meter Diutak-Atik, Patut Dicurigai Ada Titipan Investor
Denpasar, JARRAKPOS.com – Perda yang mengatur ketinggian bangunan di Bali berdasarkan Bhisama dinilai sebagai harga mati. Untuk itu jangan sampai Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang sudah masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk membuat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Semesta Berencana Provinsi Bali Tahun 2005-2025 dijadikan celah oleh kalangan tertentu untuk merusak Bali. Pentolan PDI Perjuangan asal Sanur yang juga mantan Ketua Komisi I DPRD Bali, Made Arjaya yang pernah duduk dalam Pansus Perda No.16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali tahun 2009-2029 mengingatkan dengan tegas, merubah ketentuan ketinggian bangunan akan menjadi pintu masuk bagi investor untuk melawan dan menghilangkan Bhisama dan Taksu Bali.
Made Arjaya menegaskan ketentuan ketinggian bangunan di Bali sebagai harga mati. Mantan Ketua Komisi I DPRD Provinsi Bali ini menuding bila ada upaya untuk mengutak-atik hal ini patut dicurigai karena kemungkinan ada titipan dari investor yang ingin bermain dalam perubahan tata ruang Bali. Seluruh wakil rakyat yang duduk di Renon kembali diingatkan bahwa upaya melemahkan Bhisama kembali terjadi sehingga semua pihak diharapkan jangan memberikan celah atau pintu masuk berbahaya untuk merubah Bali dan kesucian Bali. “Ketentuan ketinggian jadi harga mati. Saya sangat mendukung apa yang disampaikan Bupati Badung. Pertarungannya dan permainannya investor di ketinggian dan mengeliminir Bhisama, tinggal sekarang bagaimana ketinggian ini jangan di utak-atik. Kalau ini diutak-atik berarti saya curiga ini ada titipan investor yang bermain dari perubahan ini,” tegas Arjaya di Denpasar, Selasa (5/2/2019).
Baca juga :
Usaha untuk merubah ketentuan ketinggian juga dicurigai Made Arjaya dilakukan dengan halus melalui masukan agar bangunan dengan ketinggian diatas ketentuan 15 meter bisa dikecualikan untuk bangunan rumah sakit atau bangunan pemerintah. Terlebih wacana ini sudah dengan gamblang disampaikan di kalangan anggota dewan yang mengakomodir untuk merubah pakem pembangunan Bali. Sangat penting dipahami bahwa roh dari Perda tata ruang adalah Bhisama yang mengatur ketinggian dan radius untuk jarak kesucian pura. Jangan sampai pengecualian yang memperbolehkan bangunan yang dinilai khusus untuk menjawab fenomena dan dinamika pembangunan masa kini justru berpotensi dijadikan khasus pembuka agar bangunan lain juga diberlakukan sama dengan alasan kebutuhan. “Tapi kalau ketinggian dibolehkan entah rumah sakit entah apa, ini kan bisa membuat pintu masuk. Begitu rumah sakit, gedung pemerintahan boleh yang lain pasti dibawa ke MK atau kemana (digugat, red). Ini Perda bisa dieliminir dan disesuaikan tinggi bangunan untuk semua,” jelasnya.
Ini sudah jelas menurutnya sebuah bentuk pendegradasian terhadap Taksu Bali. Struktur budaya yang selama ini dijaga merupakan sebuah upaya menjaga kekhasan pariwisata agar mampu dibangun secara berkelanjutan. Semestinya perubahan Raperda menurut Made Arjaya lebih menguatkan tata ruang Bali seperti halnya penambahan untuk menetapkan sawah abadi, hutan abadi serta menetapkan jalur hijau abadi. Kewenangan ini juga menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi Bali, saat inilah keberanian untuk mempertegas RPJPD Semesta Berencana Provinsi Bali Tahun 2005-2025 untuk menjaga alam Bali. Mantan wakil rakyat yang dikenal vokal ini justru mendorong untuk pengembangan pemerataan di seluruh Bali, diantaranya Singaraja termasuk Nusa Penida. Sudah bisa dipastikan utak-atik agar diperbolehkan membangun setinggi diatas pohon kelapa hanya akan menyasar Badung dan Denpasar karena masalah sulitnya ketersediaan lahan. Selain itu berkembangnya desakan agar bisa membangun kearah bawah juga harus disikapi agar jangan sampai pembangunan yang akan terjadi malah menggangu ekosistem utamanya masalah air tanah. Belum lagi kebutuhan infrastruktur dibawah tanah untuk menjawab perkembangan dan kebutuhan di masa mendatang. eja/ama
You must be logged in to post a comment Login