DAERAH
Meresahkan, Warga Non Permanen di Bali Dipungut Hingga Rp150 Ribu?
Denpasar, JARRAKPOS.com – Sekretaris Kota Denpasar akhirnya mengeluarkan Surat Edaran dalam rangka tertib administrasi kependudukan. Surat Edaran No.300/1343/Satpol PP/ 2019, tentang Pendaftaran Penduduk Non Permanen di Kota Denpasar yang dikeluarkan 24 Juni 2019 pada intinya menghimbau para pelaku usaha perdagangan dan jasa pemilik rumah kos ataupun pengusaha, yang memiliki tenaga kerja pendatang dari luar daerah Kota Denpasar, agar segera melaporkan diri kepada Kepala Lingkungan atau pun Kepala Dusun setempat sebagai penduduk non permanen.
Uniknya setelah surat edaran itu turun, malah muncul kabar yang beredar di media sosial terkait salah satu banjar di Denpasar yang langsung mengumumkan untuk melakukan Pendataan Penduduk Non Permanen kepada warga pendatang, agar segera mengumpulkan persyaratan berupa, foto copy e-KTP, foto copy Kartu Keluarga, foto copy surat keterangan kerja, serta foto copy KTP tuan rumah atau penampung warga non permanen disertai dengan surat yang berisikan tanda tangan tuan rumah. Setelah warga non permanen mengumpulkan berkas persyaratan, maka dilanjutkan dengan pengisian formulir pendaftaran yang ada di balai banjar setempat.
Baca juga : Hadapi Ancaman Rabies, Satpol PP Bali akan Hukum Penjara dan Denda Rp50 Juta Pemilik Anjing Liar
Uniknya lagi, dari kabar yang beredar di media sosial termasuk grup WhatsApp (WA), bahwa warga non permanen akan dikenakan biaya atau sumbangan yang jumlahnya beragam untuk disetor ke banjar, sehingga meresahkan masyarakat. Isi pesan tersebut, bagi warga yang memiliki KTP Badung dikenakan sumbangan Rp75 ribu, KTP Bali Rp100 ribu, sedangkan warga KTP luar Bali dikenakan sumbangan Rp150 ribu, dimana jangka waktu surat keterangan Warga Non Permanen berlaku selama 6 bulan. “Dan untuk hari dan jam buka pendaftaran dilakukan setiap Senen, Rabu, dan Jumat di Pukul 19.00 Wita sampai dengan 21.00 Wita, di Balai Banjar Abianbase Pos Kipem. Coba dicek ke banjar, apakah benar ada pungutan seperti itu. Coba cek juga ke Denpasar. Ada pungutan (sumbangan, red,” tandas salah satu warga yang enggan namanya disebutkan itu, meniru isi pengumanan yang beredar di Medsos saat dihubungi lewat pesan WA-nya.
Saat dikonfirmasi, KasatPol PP Denpasar, Dewa Gede Anom Sayoga membenarkan Surat Edaran tentang Pendaftaran Penduduk Non Permanen di Kota Denpasar. Hanya saja pihaknya tidak mewajibkan para perangkat desa menarik sumbangan, ataupun punia kepada warga non permanen di Denpasar. Lebih lanjut, Dewa Sayoga mengakui melalui surat edaran tersebut, pihaknya akan segera melakukan penertiban penduduk non permanen yang akan bekerja sama dengan pihak desa dan kelurahan dengan melibatkan pihak terkait, seperti Linmas, Pecalang serta prajuru adat setempat. Jika ditemukan pelanggaran, karena tidak memiliki identitas Warga Non Permanen maupun juga menemukan pelanggaran lainnya seperti kegaduhan akan diteruskan ke proses Tipiring (Tindak pidana ringan) sesuai dengan perda yang dilanggar.
Baca juga : Gubernur Koster Larang Tari Sakral Digunakan untuk Pemecahan Rekor MURI
“Bila ada di dapat pelanggaran dalam penertiban tersebut, tanpa didukung dengan identitas diri. Maka langsung dikoordiasikan ke Dinas Sosial untuk di pulangkan ke daerah asalnya setelah melalui proses pembinaan,” jelasnya. Hal senada dikatakan Kabag Humas dan Protokol Setda Kota Denpasar, Dewa Gede Rai, S.Sos., M.Si juga membenarkan surat edaran tersebut dikeluarkan oleh pemerintah Kota Denpasar untuk mentertibkan adminitrasi kependudukan, sehingga seluruh orang ada di Denpasar semua terdata di data base dan tentang pungutan atau sumbangan Pemerintah Kota Denpasar tidak memberikan kebijakan. “Kalau adanya pungutan atau sumbangan dari kami tidak membenarkan, dan biasanya dari desa adat adanya sumbangan tersebut. Saya yakin setiap desa adat di Denpasar kebijakannya berbeda-beda,” jelasnya.
Ketika ditanyakan apa benar Pemkot Denpasar memberikan izin desa adat memungut sumbangan ataupun punia. Dikatakan, sebenarnya pungutan tersebut merupakan ada aturan awig-awig atau pun perarem desa adat kepada warga yang berdomisili di Denpasar. “Kewenangan sumbangan ataupun punia itu ada di desa adat, sedangkan dari pemerintah tidak ada dasar pungutan seperti itu,” tutup Dewa Rai. tra/ama