EKONOMI
Hasil Tangkapan Terus Menurun, Ketut Adil: Potensi Perikanan di Bali Harus Segera Diselamatkan
Denpasar, JARRAKPOS.com – Berkecimpung di industri perikanan sejak tahun 1995, Ketua Forum Pelaku Usaha Perikanan Bali (F_Pelukan Bali), Ketut Adil Darmayasa mengatakan potensi perikanan di Bali harus segera diselamatkan, khususnya untuk komoditi tangkap (ikan laut) sudah tidak mampu mengeliatkan usaha pada sektor pengolahan skala kecil dan menengah. Menurutnya potensi perikanan sudah dilibas oleh skala industri pada proses pengolahan untuk komoditi ekspor. Bila kondisi ini terus dibiarkan, maka dipastikan pengusaha perikanan banyak yang tidak mampu bersaing dan gulung tikar, terlebih jumlah kapal tangkap ikan tuna di Bali kini semakin sedikit. Pengusaha muda asal Pulau Nusa Lembongan ini, menegaskan pemerintah jangan hanya melihat pelaku usaha perikanan khususnya untuk tuna pada skala industri saja, namun juga ikut memperhatikan nasib pengusaha pengolahan ikan skala kecil dan menengah.
Alumni Sekolah Tinggi Perikanan, Jakarta tahun 1995 ini, menuturkan awal kehidupannya bekerja di bidang perikanam berawal saat lulus pendidikan perikanan dan ikut berlayar dengan perusahaan Jepang yang beroperasi di Bitung, Sulawesi Utara selama satu tahun. “Begitu lulus ikut perusahaan Jepang yang bergerak di bidang industri penangkapan tuna di Bitung, Sulawesi Utara. Bekerja di sana satu tahun, lalu pindah ke Bali ikut kapal longline industri penangkapan tuna selama dua tahun. Kemudian saya pindah ke industri pengolahan sesuai bidang saya, jurusan teknologi pengolahan hasil di industri pengolahan tuna di Benoa tahun 1998. Dua tahun disana, awal 2000 mengundurkan diri dan berdikari dari nol,” jelas Ketut Adil menanggapi ada pihak yang telah meragukan kapasitasnya sebagai Ketua Forum Pelaku Usaha Perikanan Bali (F_Pelukan Bali), saat ditemui di salah satu usaha home industri miliknya di Denpasar, Kamis (16/1/2020).
Baca juga : Bali Dibanjiri Tuna Luar Bali, F_Pelukan Bali Desak Gubernur Bantu Kapal Tangkap di Pelabuhan Benoa
Bahkan, Ketut Adil mengungkapkan di awal berkarir pernah dipercaya salah satu pemilik kapal tangkap tuna terbesar di Pelabuhan Benoa untuk membeli hasil tangkapan di luar komoditi ekspor. Hasil produksinya bahkan diserap beberapa perusahaan besar dan ia pun menyewa tempat dan membuka usaha home industri pengolahan ikan di Jalan Gurita Denpasar dengan dilengkapi satu unit mesin pengolahan kecil di tahun 2000. “Karena berlatar belakang pengolahan saya punya insting dan pengalaman kerja di industri pengolahan. Tahun 2000 saya menyewa tanah di Gurita sekitar 1,5 are kemudian membuat unit pengolahan kecil dengan mesin yang minimal,” ungkapnya. Kendati tidak mampu bersaing dengan skala industri, Ketut Adil tetap memastikan cara pengolahan ikan tuna dilakukan sesuai standar, terlebih lagi pernah dipercaya sebagai quality control saat masih bekerja di industri pengolahan.
Menggeliatnya usaha yang dirintis juga didukung tumbuh suburnya hotel dan restoran di Bali saat itu. Berjalan satu tahun membuatnya mampu memiliki satu unit mesin pengolahan yang berlokasi di seputaran Jalan Pulau Moyo, Denpasar. Selanjutnya berhasil menangani pasar lokal di Bali utamanya restoran Jepang di tahun 2001 mulai melakukan ekspansi ke Jakarta hingga menerbitkan sebuah buku panduan tentang industri tuna berjudul ‘Industri Perikanan Tuna’. Bersyukur ketekunannya menjaga kepercayaan customer membuat seluruh outlet langganannya hingga saat ini tetap mengandalkan suplay ikan baik tuna maupun jenis ikan lain datang darinya. Kejayaan hasil tangkapan tuna dijelaskan tumbuh baik pada rentang tahun 2000 hingga 2005. Saat hasil tangkapan mulai menurun seiring semakin sedikitnya kapal tangkap tuna yang beroperasi, ia memilih untuk membuka investasi di kawasan Indonesia timur tahun 2011.
Baca juga : Pelaku Usaha Perikanan Menjerit, Kadis Perikanan Justru Sebut Tuna di Bali Aman
Berjalan hingga tahun 2013 akhirnya ia kembali ke Bali karena pada saat itu komoditas tuna Indonesia mengalami boikot oleh Amerika karena kasus bakteri samonela. Tahun 2014 ia kembali masuk Benoa setelah sempat dua tahun secara total ditinggalkan untuk fokus berusaha di tempat lain. Hingga tahun 2020 ia merasakan banyak sekali perubahan di pelabuhan Benoa karena semakin sulit membeli ikan tuna yang disebabkan banyak perusahaan besar telah memiliki industri dan kapal tangkap sendiri, disisi lain banyak kapal tangkap tuna beralih menjadi kapal tangkap cumi. Berkaitan dengan kondisi perikanan saat ini melalui F_Pelukan Bali pihaknya menyuarakan kepada pemerintah bahwa telah terjadi perubahan orientasi bisnis perikanan utamanya untuk komuditas ikan tuna. Pihaknya mendesak pemerintah daerah agar membuka keran investasi kapal tangkap tuna, dimana untuk kapal hingga 30 GT menjadi kewenangan provinsi dalam mengeluarkan izin.
Begitu juga harapan agar paving laut (zona tangkap) bisa diperlebar diatas 12 mil agar investor mau menanamkan investasinya melalui Pelabuhan Benoa. Desakan ini dinilai sangat penting untuk disikapi karena kawasan di luar Bali sudah mulai mengembangkan kawasan perikanan terpadu dan segera dilengkapi sektor industri sehingga bila hal itu dibiarkan terjadi dan Bali belum siap meningkatkan hasil tangkapan maka kekurangan pasokan ikan di Bali tidak akan bisa lagi dipenuhi dari luar Bali. “Setiap provinsi membuat kawasan industri perikanan terpadu, seperi Belitung, Ambon juga industri perikanannya melesat, Makasar, Mamere. Kupang dan Ternate. Industri perikanan banyak buat apa kirim ke Bali, terlebih Jayapura akan mendatangkan industri akan mereka kelola dan ekspor sendiri. Otomatis bila itu terjadi ikan Jayapura tidak akan bisa masuk ke Bali sehingga akan banyak pelaku usaha akan menjerit. Kapal tidak ada nambah di Benoa, akan banyak pengangguran. Hotel juga akan sulit mendapatkan ikan, restaurant hanya nunggu dari supplier.
Baca juga : Himpunan UMKM P2HP Bali Tancap Gas Pacu Produksi Perikanan
Kesimpulannya mengantisipasi mulai saat ini harus difikirkan karena kebutuhan domestik hotel dan restaurant sangat tinggi. Setiap daerah pasti mengejar ekspor,” jelasnya. Mendudukkan Anggota DPR RI, I Nyoman Parta sebagai Ketua Dewan Pembina F_Pelukan Bali, asosiasi ini juga menyuarakan keinginan 92 anggotanya yang bergerak sebagai pelaku rill UMKM sektor perikanan di Bali untuk bisa naik kelas. Tidak hanya ingin mendapatkan ikan dari tangkapan sendiri secara cukup juga ingin ikut berkontribusi untuk mendonngkrak ekspor ikan ke luar negeri. Karena tidak sedikit para anggota F_Pelukan Bali pernah dan ada yang masih menjadi eksportir tuna. Sehingga juga ada harapan agar pemerintah bisa memfasilitasi unit pengolahan yang juga terintegrasi dengan seluruh aspek perijinan didujung terhimpunnya data hasil tangkapan untuk mengetahui jumlah supplay dan demand.
“Segmen kecil menengah membeli ikan ke industri kan tidak mungkin, karena dia memenuhi untuk kebutuhan sendiri. Punya kapal sendiri, punya pabrik sendiri dan diekspor sendiri kami kan mebalih (jadi penonton, red). Satu-satunya jalan ya kami ambil ikan luar atau ikan lepas-lepasan (sisa ekspor, red). Dulu kapal banyak gampang membeli, sekarang Industri sudah pintar hasil tangkapannya dengan kapal sendiri diolah dan diekspor sendiri. Satu-satunya jalan anggota kami harus suplai bahan baku dari luar. Satu UMKM belinya sudah mahal karena ongkos kargo sudah mahal jadi untung yang kami terima itu betul-betul tipis dari pada tidak kerja, sederhananya seperti itu. Kalau kami tidak datangkan ikan kami tidak ada pekerjaan,” tandas pria yang sering menjadi dosen tamu pada kegiatan penerimaan mahasiswa baru untuk kewirausahaan dengan materi sektor perikanan ini. eja/ama