INTERNASIONAL
Waspadai Tsunami Outer Rse Selatan Bali
Oleh: I Putu Dedy Pratama, Pengamat Geofisika Stasiun Geofisika Denpasar.
Denpasar, JARRAKPOS.com – Pada hari Kamis, 19 Maret 2020 pukul 01:45:38 WITA masyarakat Bali dihebohan dengan adanya gempa bumi teknonik. Hasil analisis awal BMKG menunjukkan gempa bumi memiliki parameter M=6,6 dengan koordinat episenter di 11,25 LS dan 115,09 BT pada kedalaman 10 km. Kemudian, setelah dilakukan analisis medalam dilakukan permutakhiran sehingga diperoleh hasil parameter update M=6,3. Episenter terletak pada koordinat 11,4 LS dan 115,04 BT tepatnya di laut pada jarak 305 km arah Selatan Kota Denpasar, Bali, pada kedalaman 10 km. Hingga tanggal 20 Maret 2020 pukul 08:00 WITA sudah terjadi 22 kali gempa bumi susulan.
Sebagian besar wilayah Bali dan Lombok merasakan gempa bumi dengan skala intensitas terbesar mencapai IV MMI, yang artinya guncangan dirasakan cukup kuat hingga menyebabkan jendela dan pintu berderik. Warga yang sedang tidur terbangun dan beberapa berlarian keluar rumah. Sementara itu di Sumbawa Barat dan bagian Selatan Jawa Timur guncangan dirasakan dalam skala intensitas III MMI, yang setara dengan guncangan truk lewat. Hingga saat ini belum ada laporan dampak kerusakan dan patut disyukuri bahwa hasil pemodelan menunjukkan bahwa gempa bumi ini tidak berpotensi tsunami.
Berdasarkan analisis mekanisme fokus patahan yang terjadi menunjukan pola patahan turun (normal fault). Jika dilihat lokasi episenter dan kedalaman gempa bumi tersebut tepat berada di Zona Palung Selatan Bali sehingga terjadi dua kemungkinan penyebab yaitu Megathrust dan outer rise. Karena bentuk pensesaran menunjukan pola patahan turun maka dapat disimpulkan bahwa gempa bumi berada di luar zona subduksi (outer rise). Gempa bumi terjadi di dalam lempeng (intaslab) Indo-Australia. Pergerakan patahan ini terjadi karena deformasi batuan pada bidang tekukan Lempeng Indo-Australia yang mengalami gaya tarikan (ekstensi).Tekukan ini karena adanya petemuan subduksi lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia.
Gempa bumi outer rise umumnya terjadi pada zona subduksi dengan tekukan tajam. Pertemuan lempeng dengan pergerakan hampir searah dengan bidang kontak lempeng mengakibatkan adanya tekukan dan pada bagian yang menyusup akan menjadi curam. Kelenturan lempeng mengangkat dasar samudera yang disebut sebagai outer rise dan pada sisi lain menimbulkan palung samudera. Saat lempeng melentur, tekanan di kerak samudera dapat menimbulkan patahan normal dengan magnitudo besar.
Tidak seperti gempa bumi tipikal Tsunamigenik yang terjadi pada sesar naik yang memisahkan lempeng tektonik dalam zona subduksi (megathrust), gempa bumi outer rise terjadi di dalam lempeng subduksi atau lempeng sebelum memasuki zona subduksi. Wilayah Jawa hingga Sumba memiliki tekukan tajam sehingga kedalaman gempa bumi pada zona ini mencapai lebih dari 600 km. Tekukan bagian atas menimbulkan gaya tarikan slab yang memicu patahan pada zona outer rise.
Berdasarkan informasi dari Kepala Bidang Mitigasi Gempa bumi dan Tsunami BMKG, sejarah gempa yang bersumber di zona outer rise Bali bukanlah hal baru. Sebelumnya zona outer rise Bali pernah mengalami gempa signifikan sebanyak 3 kali, yaitu (1) pada 9 Jun 2016 dengan magnitudo 6,0 (2) pada 17 Maret 2017 dengan magnitudo 5,3 dan (3) pada 9 Juni 2019 dengan magnitudo 5,1. Ditambahkan, zona outer rise selatan Bali ini patut diwaspadai dan tidak boleh diabaikan, karena zona sumber gempa ini mampu memicu gempa besar dengan mekanisme turun sehingga dapat menjadi generator tsunami.
Gempa bumi outer rise ini juga dapat memicu tsunami. Catatan katalog tsunami BMKG menunjukan terjadi tsunami pada 19 Agustus 1977 yang memiliki ketinggian maksimum 15 meter dan menyebabkan 189 orang meninggal dunia. Tsunami disebabkan oleh gempa bumi outer rise pada 320 km baratdaya Waingapu-NTT dengan kekuatan M=8,0 (BMKG) dan M=8,3 (USGS). Oleh para ahli gempa gempa bumi dan tsunami ini populer dengan sebutan “The Great Sumba”. Gempa bumi outer rise Sumba merupakan gempa bumi patahan normal terbesar kedua sepanjang tahun 1900 hingga sekarang. Gempa bumi patahan normal terbesar adalah gempa bumi Sanriku Jepang 1933 dengan kekuatan M=8,6.
Beberapa contoh gempa bumi menimbulkan tsunami yang terverifikasi akibat tektonik di outer rise adalah Tsunami Sanriku di Jepang tahun 1933 yang disebabkan gempa bumi berkekuatan M=8,6 dengan korban tewas mencapai lebih dari 3.000 orang. Terbaru, gempa bumi outer rise yang menimbulkan tsunami terjadi di Samoa (Kepulauan Pasifik) dengan kekuatan gempa bumi M=8,1 mengakibatkan tsunami.
Sejarah tsunami pada zona belakang subduksi dapat dijadikan pelajaran untuk kita bahwa zona outer rise (termasuk) di selatan Bali merupakan zona gempa bumi pemicu tsunami yang perlu diwaspadai dan tidak dapat diabaikan.
Berdasarkan Palelindon gempa bumi terjadi di Pangelong 10 Sasih Kesanga ini memiliki arti dimana Betari Uma sedang beryoga. Hal ini merupakan pertanda bahwa rakyat akan menderita dan hidup serba susah. Hal ini juga berhubungan dengan beberapa kasus seperti COVID-19 yang terjadi saat ini membuat lesu pariwisata di Bali. ***