HUKUM
Lapas di Indonesia Over Capacity, Pemerintah Didesak Sahkan RUU Pemasyarakatan Cegah Wabah Covid-19
Jakarta, JARRAKPOS.com – Semakin meluasnya dan banyak warga Indonesia yang terinveksi atau menjadi suspect wabah virus Covid-19 atau Corona mendapat sorotan Ketua Yayasan Konsultasi dan Bantuan Hukum Bela Keadilan (YKB-BH) Drs. Jumanto yang juga pengamat hukum dan sosial ini, mendesak pemerintah segera mengesahkan RUU Pemasyarakatan yang baru, agar memberi payung kepada Ditjen PAS RI untuk membebaskan para napi dalam menghindari terjadinya ledakan jumlah korban di lembaga pemasyarakatan (lapas) akibat Covid-19.
Ia juga mendesak Polri dan penegak hukum lainya untuk tahanan dan narapidana atau warga pemasyarakatan yang sedang menunggu sidang dan yang sedang menjalani sidang untuk dikeluarkan untuk menjadi tahanan rumah. “Hampir semua lapas dan rutan di Indonesia mengalami over capacitas karena ketidakseimbangan penghuni antara yang masuk dan keluar. Pada saat ini terjadi over capacitas dua sampai tiga kali lipat dan sudah dapat digolongan dalam katagori extreme over capacity,” tegasnya dalam rilis diterima, Senin (23/3/2020).
Menurutnya jika dihubungkan dengan adanya pendemik virus corona (Covid 19) yang saat ini menimpa Indonesia, maka kondisi over capacity akan membahayakan napi. “Karena jika satu narapidana (napi) terkena Covid 19, maka semua napi dalam satu lapas atau rutan akan terkena. Hal itu dimungkinkan karena tidak bisa melaksanakan social distancing,” ujar Jumanto. Lebih jauh ia menjelaskan, untuk itu perlu upaya pemerintah untuk mecegah yang saat ini dapat dilakukan dua sisi, yaitu pencegahan hulu dan hilir.
Pada sisi hulu untuk sementara menghentikan persidangan yang banyak melibatkan tersangka dimana terdakwa yang telah mengikuti persidangan terjangkit Covid- 19 dapat menularkan ke tahanan lainnya yang berada di rutan. Kedua kepolisian atau kejaksaan mengeluarkan kebijaksanaan agar tersangka atau terdakwa tidak dilakukan penahanan di rutan tetapi dilakukan penangguhan penahanan atau tahanan kota atau tahanan rumah yang secara hukum dimungkingkan.karena salah satu tujuan hukum pidana ialah tegaknya ketertiban dan perdamaian, kalau dengan cara-cara yang ditempuh telah melahirkan ketertiban dan perdamaian, maka tujuan pemidanaan telah tercapai sehingga tidak lagi diperlukan proses pemidanaan.
Selanjutnya perlu sistem hukum bisa diperbaiki yaitu untuk pidana kecil tidak perlu diselesaikan selalu di persidangan hingga masuk penjara, tetapi diselesaikan di luar sidang (restorative justice). Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. “Upaya sisi hilir yang bisa ditempuh pertama Presiden menerbitkan Keppres tentang pemberian remisi corona yang polanya mirip dengan remisi dasawarsa (Keputusan Presiden No 120/Tahun 1955). Pemberian remisi semacam ini akan mempercepat kebebasan napi yang gilirannya akan mengurangi over capacity.
“Kedua, RUU Pemasyarakatan segera disahkan dalam waktu sesingkat singkatnya karena dengan disahkan RUU Pemasyarakatan akan mengurangi over capacity lapas yang sangat signifikan yaitu diperkirakan hampir sepertiga dari jumlah napi khusunya napi narkoba. Dan tahanan yang sedang menunggu sidang dan sedang menjalani sidang dikeluarkan jadi tahanan rumah,” jelasnya. Terdapat sejumlah konsekuensi serius dari kepadatan penghuni penjara di Indonesia yang dapat dirasakan langsung oleh narapidana atau para tahanan.
Pertama, tingginya tingkat kepadatan memperparah buruknya kondisi kesehatan penghuni di dalam rutan maupun lapas. Anggaran kesehatan mengalami pemotongan yang signifikan beberapa tahun belakangan ini akibat defisit anggaran negara. Bahkan anggaran layanan kesehatan bagi penghuni ditiadakan pada tahun anggaran 2014 lalu, Kondisi ini semakin memperburuk akses penghuni terhadap layanan kesehatan yang layak. Hukuman penjara dan kesehatan publik. Penjara telah disebut sebagai inkubator penyakit karena dampak merugikan penjara, pada kesehatan tidak terbatas dalam tembok penjara. Tahanan menyebarkan penyakit kepada masyarakat luar melalui staf dan pengunjung.
Kemungkinan besar tahanan yang terinfeksi datang dari pihak luar seperti petugas dan keluarga tahanan yang masuk ke dalam lapas dan puncaknya menyebar berbagai warga pemasyarakatan atau tahan rutan di penjara kepada sesama warga binaan atau tahanan lainnya baik didalam atau disaat akan sidang. Situasi warga pemasyarakatan overcrowding jumlah tahanan yang berlebihan, menimbulkan risiko tinggi terhadap penyebaran penyakit di antara tahanan dan di masyarakat sekitar lapas dan rutan, karena tahanan pra-ajudikasi Selama penahanan mereka berada dalam kondisi penuh sesak dan tidak sehat, tahanan pra-ajudikasi berada pada risiko tinggi tertular penyakit.
Penularan Virus Covid-19 atau Corona yang akan mereka bawa ke penjara, Penjara memang sering disebut sebagai inkubator penyakit karena dampak merugikan penjara pada kesehatan tidak terbatas dalam tembok penjara yang akan menyerang para tahanan maupun narapidana. Tahanan ataupun narapidana berpotensi menyebarkan penyakit kepada masyarakat ke luar atau kedalam melalui staff, keluarga maupun pengunjung.
Lanjut, perwakilan dari Anggota Komisi III DPR RI Supriansa meminta Kementerian Hukum dan HAM melakukan mitigasi pencegahan penyebaran Corona (Covid-19) di lingkungan lembaga pemasyarakatan (LP) dan rumah tahanan.
Dia mengusulkan agar narapidana kasus ringan dibebaskan. Selain pembebasan tahanan, Supriansa mengusulkan tahanan yang berkelakuan baik dapat diantarkan di rumah keluarganya dan akan dikembalikan ke dalam sel jika situasi telah membaik. Menurutnya, usul tersebut diajukan terkait pencegahan penyebaran Corona mengingat ada masalah overkapasitas lapas. “Saatnya dibuat rencana mitigasi terkait soal COVID-19: penjahat ringan dilepaskan, sesudah itu diberi tugas membersihkan semua karpet, lantai, dan dinding-dinding lapas. Pengguna narkoba dimohonkan grasi ke presiden kalau sudah menjalankan separuh masa hukumannya,” ujar Supriansa kepada JARRAKPOS.com, Selasa (24/3/2020).
Politikus Golkar ini mencontohkan kebijakan pemerintah Iran dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat (AS) yang membebaskan tahanan. Dari data yang dia dapatkan, pemerintah Iran melepas sementara sekitar 54 ribu narapidana di dalam penjara yang kepenuhan. Setelah napi kasus pidana ringan dibantarkan, lanjutnya, LP dan rutan sudah longgar, sehingga dapat dilakukan ‘social distancing’ pada para napi kelas kakap, seperti langkah pemerintah yang meminta social distancing di lingkungan masjid dengan meniadakan salat Jumat.
Supriansa menambahkan potensi masuknya COVID-19 di lingkungan lapas dan rutan rentan dibawa oleh petugas atau pegawai lapas yang berinteraksi dengan dunia luar ataupun memiliki riwayat perjalanan ke daerah-daerah yang sudah tersebar COVID-19. “Sedangkan tim medis saja yang sudah menyiapkan diri dengan paripurna, dengan memakan vitamin, menggunakan APD dan masker N-59, tetap terinfeksi, bagaimana dengan warga binaan lapas kita,” pungkas mantan Wabup Soppeng. tim/jmg/ama