HUKUM
Mediasi Buntu, MDA Dituding Tak Akomodir Semeton Hindu
Badung, JARRAKPOS.com – Pendamping Pengempon Pura Hyang Pasek Gaduh di Banjar Babakan, Desa Canggu, Kabupaten Badung, Wibisana Singgih Wilasa, menegaskan penyelesaian permasalahan sengketa yang dimediasi oleh Majelis Desa Adat (MDA) beberapa waktu lalu tidak menemui kesepakatan. Ia menegaskan mediasi mengalami kebuntuan karena tidak mengakomodir kepentingan semeton Hindu yang menjadi pengempon pura yang disengketakan.
“Terkait mediasi yang diklaim telah dilakukan oleh MDA sebagaimana disampaikan oleh saudara Putu Hendra (perwakikan MDA dan FKUB Provinsi Bali, red), saya memiliki sebuah ganjalan mengenai kajian, pemahaman dan pengumpulan fakta yang seharusnya bisa dilakukan untuk memperjelas posisi masing-masing pihak yang berseteru sepertinya tidak pernah terjadi,” ujarnya melalui surat pernyataan sikapnya, Rabu (26/8/2020).
Quisioner Dua Tahun Kepemimpinan Gubernur Dan Wakil Gubernur Bali Wayan Koster Dan Cok Ace (Kbs-Ace)
Tanpa memahami data yang dimiliki pengempon Pura Pasek Gaduh yakni terkait kepemilikan lahan dan pura sesuai Pipil No: 57 yang menyatakan obyek yang disengketakan adalah DT atau duwe tengah. Hal ini menjadi pemahaman bahwa dalam mediasi yang dilakukan tidak ada pendalaman materi sengketa sehingga hasil mediasi tidak diterima pihak Hindu. “Bagaimana mungkin saudara Hendra bisa menyebutkan mediasi sebenarnya berhasil sementara pihak semeton Hindu tidak menyetujui? Apakah ketika itu Bendesa Agung bertindak sebagai Ketua FKUB atau sebagai Bendesa MDA?,” jelasnya mempertanyakan.
Secara umum platform mediasi yang dianggap sebenarnya berhasil itu ditegaskan Wibisana sebuah kesalahan fatal. Pura Hyang Ibu Pasek Gaduh yang diyakinii telah berdiri jauh sebelum tahun 1840-an berdasarkan cerita dan fakta yang terkumpulkan ternyata tidaklah cukup untuk meneguhkan sejarah karena design mediasi yang telah dilakukan. Menjadi catatan juga bahwa mediasi tidak berjalan baik karena tidak diawali dengan mendengarkan penjelasan dari pihak krama Hindu dengan baik.
“Kami berpikiran lain karena terkesan jdijebak dan tidak diberi pilihan atau kesempatan membela diri dengan langsung diberikan konsep menerima hanya pura saja dan jaba dipergunakan bersama. Kami berpikiran lain setelah kami merasa bahwa Bendesa Agung MDA pada momen tersebut lebih bertindak sebagai Ketua FKUB bukan sebagai Bendesa Agung yang seharusnya menaungi kami,” terangnya.
Selanjutnya disampaikan Wibisana keputusan untuk kembali menempuh upaya hukum baru sebenarnya merupakan sinyal akibat dari kegagalan fungsional Bendesa Agung MDA dalam menyikapi perkara atau kasus yang ada. Kegagalan Bendesa Agung MDA inilah yang akhirnya memaksa semeton Hindu memilih kembali memperjuangkan Keleluhuran dan Pura Hyang yang disucikannya melalui jalur pengadilan dengan bantuan para pejuang hukum. eja/ama/ksm