NEWS
Di Balik Peringatan HPN 2022* “Aku Wartawan”
SEPARUH dari usiaku adalah kiprah jurnalis. Persis 20 tahun rentang waktu di antara cakrawala warta. Dua dekade yang sarat makna “candradimuka” media.
Mengawali akhir 1978, berakhir pada akhir 1998. Bersamaan eforia Gerakan Reformasi, saat usia mulai kepala 4. Toh, label wartawan tak mudah terlepas.
Dua dekade bersama media koran ternama, membuka jendela dunia. Bersama surat kabar bertajuk Harian Umum “Pikiran Rakyat”. Kang Ruslan yang sudah lebih dulu kaliber wartawan surat kabar utama Jabar itu, menyolek saya. Mengajak bergabung. Saat itu, baru reda aksi Perjuangan Mahasiswa 1977/78. Saya masih berstatus mahasiswa Fak. Publisistik Unpad angkatan 1975. Sebelumnya ikut mendirikan Biro Protokol (kegiatan ekstra yang dikoordinasikan Rektorat Unpad). Bersama Didin S. Damanhuri (kini, Prof. Dr. di IPB) pada 1976.
Lamaran kerja lebih sebagai formalitas. Profesi wartawan mengurai harapan, setelah “anak tangga” jurnalis kampus. Pernah ikut mengolah Bulletin “Jurnal” Unpad dan orientasi Pers Kampus ITB. Seolah tinggal melangkah di media publik bernama “Pikiran Rakyat”. Meski harus lebih dulu berkinerja di meja “korektor”, rasanya tak perlu berlama-lama. Aku mau jadi wartawan.
RENTANG 20 tahun sebagai wartawan, sejatinya masa relatif pendek. Dibanding deretan wartawan yang berpredikat senior dalam arti sesungguhnya. Label senior dengan kualitas, karya dan jelajah. Hadir sederet figur jurnalis berkadar nasional. Kelak masih akan lahir kaliber lainnya. Maka, kenduri Hari Pers Nasional di Kendari, hari ini, 09 Februari 2022 — hendaknya menjadi ajang apresiasi insan pers (baca: wartawan atau jurnalis).
Masa 20 tahun sebagai awak media. Selebihnya tak pernah sirna unjuk predikat wartawan. Angka 20 yang membagi tiga episode kehidupan. Hingga usia 20 tahun menapaki pendidikan hingga universitas. Usai 20 tahun sebagai wartawan HU “Pikiran Rakyat”, menapaki ranah politik. Tak kurang lolos parlemen tingkat provinsi, rasanya tetap dalam aroma wartawan. Predikat yang seiring arah melangkah. Pada spasi 20 tahun dalam bingkai politik praktis, terngiang kembali dunia jurnalistik.
Sejak 2018, saya memulai lagi geliat minat sebagai “kuli tinta”. Bukan meliput dan menyajikan berita. Bukan saatnya merambah peliputan. Kali ini, lebih mengarah tulisan “byline”. Awalnya sebatas lewat laman faceBook. Tak jarang berupa tulisan seri. Sentuhan “suka” dan “komentar”, menuntun berlanjut. Dalam tiga tahun terakhir merambah ke media “news online”.
Di spasi politik tadi, saya bersama Kang Yayat Hendayana dan Kang Ruslan — mendirikan Komunitas Wartawan Senior (KWS) Jawa Barat. Kedua senior itu mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Barat.
Denyut nadi wartawan tak pernah henti. Menyatu dalam setiap langkah sosial. Bahkan, ketika semakin banyak orang memilih dan mencintai profesi wartawan. Era teknologi informasi dengan media sosial yang marak dan menantang peluang.
Betapa, wartawan tak sebatas menggegas kabar dan berita. Wartawan senantiasa dimaknai sebagai “agen perubahan”. Meramu fungsi penerangan, hiburan dan edukasi. Selebihnya peran kritis dan analisis. Terlebih nasa kini, ketika peluang dan tantangan menghadang. Pembuat berita dan opini kian tampak berpapasan dengan “content creator”. Berita berbalut opini. Bingkai jurnalistik terusik. Sejurus itu, perlu koridor tanpa kendor. Tak cukup seleksi alam.***
Sumber : Ketua KWS
Editor : Kurnia
You must be logged in to post a comment Login