Connect with us

    SUARA PEMBACA

    Sketsa Pemilu Serentak 2024: (3) *Wacana Itu Tanpa Dasar*

    Published

    on

    BARU sebulan penetapan jadual Pemilu Serentak 2024 pada 14 Februari 2024, sudah muncul sengkarut. Ada wacana penundaan atau pemunduran jadual pemilu. Wacana yang diputar ulang.

    Penetapan hari pemungutan suara hingga KPU dan Bawaslu, diyakini bakal mengakhiri wacana itu. Ya, mengingat dua agenda penetapan tsb merupakan kesepakatan pemerintah dan parlemen (DPR RI). Parlemen yang meliputi konfigurasi parpol. Dengan kata lain sudah final.

    Tak hendak beropini lebih lanjut. Sudah cukup para pakar dan akademisi mengkritisi. Wacana yang dikaitkan dorongan jabatan presiden tiga periode. Sebelum ini, bahkan Presiden Jokowi sudah “menghadang”. Dirilis secara terbuka. Tak cuma sekali. Wacana itu dinilainya sebagai “cari muka” dan ingin menjerumuskan. Tak jelas pula argumen wacana penundaan Pemilu Serentak 2024. Kecuali perkara pertumbuhan ekonomi semasa pandemi. Tidak spesifik pada sandaran konstitusi. Wacana mirip TTS, teka-teki (tak kunjung) selesai.

    Tak ada keadaan memaksa (force majeure). Konstitusi sudah jelas dan tegas menjamin tradisi demokrasi 5 tahunan. Wacana penundaan atau pemunduran jadual, berpotensi mengkhianati demokrasi. Pun mengingkari amanat reformasi. Bakal memicu kegaduhan dan kontraproduktif.

    Advertisement

    Muhammadiyah langsung menolak wacana penundaan Pemilu 2024. Ketumnya, Abdul Mu’ti meminta para pihak untuk arif dan bijak. Hendaknya mementingkan masa depan bangsa dan negara di atas kepentingan individu dan kelompok. “Jangan menambah masalah bangsa dengan wacana yang berpotensi melanggar konstitusi. Akhiri..!,” tegasnya.

    Gayung bersambut dengan mantan Ketua MK, Jimmly Asshiddiqie. “Pernyataan itu tak perlu direspons,” katanya. Tak bisa asal tunda tanpa dasar konstitusional dan pijakan hukum yang kuat.

    Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra pun berpendapat senada. Wacana itu dinilai potensial konflik politik. Bakal terjadi benturan konstitusi dan undang-undang. Lantas memicu krisis legitimasi dan kepercayaan rakyat.

    Wacana yang mengarah, bahwa politik itu bisa “diutak-atik” semata. Konfigurasi koalisi di parlemen memungkinkan lancarjaya. Betapa pun sebuah kemunduran demokrasi. Bila wacana bergulir, kian tampak oportunis berlanjut. Semangat mementingkan diri sendiri atau kelompok.

    Advertisement

    Sebuah wacana dimaknai sebagai pembuka skenario. Tak kurang dari “kecurigaan” mengarah nepotisme model anyar. Langkah mobilisasi politik dengan sederet justifikasi. Lanjut polarisasi. Lagi-lagi untuk dan atasnama rakyat. Berpendek kata, “mengurai pembenaran dan bukan kebenaran.”

     

     

    Penulis : Wartawan Senior di Bandung.

    Advertisement