HUKUM
DPD RI Puji Penanganan Restorative Justice Kejagung, Begini Penjelasannya
JAKARTA Jarrakpos.com – Ketua Komite I DPD, Fachrul Razi menyebut, terjadinya persegeran paradigma dalam pelaksanaan criminal justice system atau pembalasan menjadi keadilan restoratif (restorative justice) di Indonesia. Menurut Fachrul, kewenangan itu sudah tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan.
“Salah satu isinya, “Korps Adhyaksa” diberikan kebebasan untuk mengedepankan dan menggunakan restorative justice dalam penegakan hukum. Wewenang ini disebut juga dengan diskresi penuntutan atau kebebasan bertindak menurut penilaian jaksa. Tentu dalam penerapannya wajib mempertimbangkan kearifan lokal dan nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 8 ayat (4) UU 11/2021,” kata Ketua Komite I DPD RI, Fachrul Razi dalam rilis yang diterima Jarrakpos, Senin (4/4) di Jakarta.
Dikatakan Fachrul, dalam Pasal itu berbunyi, “Jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dan hati nurani dengan mengindahkan norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat.
“Jadi bunyinya Jaksa harus melakukan tindakan berdasarkan hukum dan hati nurani serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya.”tutur Fachrul.
Di tempat yang bersamaan, Wakil Jaksa Agung, Sunarta, menyampaikan, penanganan perkara demi mencapai kepastian hukum yang berkeadilan terus dilaksanakan Bidang Tindak Pidana Umum se-Indonesia sejak 2021. Kata Sunarta, Jajarannya memaksimalkan pemanfaatan teknologi informasi, seperti penyelesaian sebagian perkara secara daring.
Pada Bidang Tindak Pidana Khusus, semacam kasus korupsi, ungkap Sunarta, Kejagung menorehkan capaian kinerja demi mewujudkan penegakan hukum yang dapat memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum.
Bahkan, pada pengujung 2021, kembali membuktikan keberhasilannya membuat terobosan dalam pembuktian unsur adanya kerugian perekonomian negara dalam tindak pidana korupsi.
“Hal itu diamini oleh Mahkamah Agung dengan adanya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 4952K/Pid.Sus/2021 tanggal 8 Desember 2021 yang memutus terdakwa Irianto yang diadili di dalam perkara tindak pidana korupsi impor tekstil,” beber Sunarta.
Sunarta menambahkan, Kejagung juga pro aktif melaksanakan keadilan restoratif. Terdapat 999 perkara yang diajukan penghentian penuntutan hingga saat ini, tetapi hanya 907 perkara yang disetujui.
“Jumlah tersebut memang tidak sebanding dengan banyaknya perkara pidana yang ada,”ujar Sunarta.
Lebih jauh, Sunarta menerangkan, proses penghentian penuntutan berdasarkan restorative justice dilakukan secara selektif. Metodenya, dilakukan gelar perkara yang dipimpin langsung oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum.
Katanya, penyelesaian perkara melalui restorative justice mendapat respons positif dari masyarakat.
“Terbukti dengan banyaknya permintaan agar penyelesaian perkara dilakukan melalui proses penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif,”terang Sunarta. (Jum/Red)
You must be logged in to post a comment Login