EKONOMI
Organda Keluhkan Rumitnya Perijinan dan Tingginya Pajak BBNKB di Bali
Foto : Ketua DPD Organda Bali Ketut Eddy Dharma Putra (kiri) saat didampingi Bendahara Nyoman Gede Subawa memberikan keterangan pers.
SEMPIDI, JARRAKPOS – DPD Organisasi Angkutan Darat (Organda) Bali mengeluhkan rumitnya perijinan kendaraan sewa dan angkutan pariwisata saat ini. Selain harus diurus langsung ke Kemenhub di Jakarta, juga harus menyertakan sejumlah persyaratan yang sangat memberatkan para pengusaha angkutan. “Kita harus mengurus ijin ke Jakarta, padahal seharusnya di daerah tinggal disiapkan balai atau perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Ini sangat menberatkan dari sisi waktu dan biaya. Apalagi pelayanan perijinanan di pusat belum memadai,” keluh Ketua DPD Organda Bali Ketut Eddy Dharma Putra, S.Sos usai menggelar rapat Pengurus Organda se-Bali di Sempidi, Badung, Sabtu (20/1/2018).
Selain itu, para pengusaha angkutan di Bali juga menuding Pemprov Bali kehilangan pendapatan pajak kendaraan di Bali, akibat tingginya pajak BBNKB (Bea Balik Nama Kendaraan) pertama atau mobil baru yang mencapai 15 persen. Padahal daerah lainnya, hanya 10 persen yang menyebabkan banyak pengusaha angkutan maupun pribadi membeli kendaraan di luar daerah untuk menekan pengeluaran. “Pajak BBNKB yang mencapai 15 persen di Bali saat ini merupakan yang tertinggi di Indonesia. Hal ini menyebabkan pembeli kendaraan baru lebih memilih membeli di luar Bali karena pajaknya jauh lebih murah. Padahal di Jawa sebelumnya 15 persen, namun kini hanya 10 persen,” ujarnya saat didampingi Bendahara Organda Bali Nyoman Gede Subawa.
Akibat tingginya pajak tersebut, banyak pengusaha angkutan khususnya di Bali yang memilih membeli kendaraan di luar Bali. “Beda pajaknya lumayan besar,” jelasnya seraya dibenarkan Pengurus DPD Organda Bali Cahaya Wirawan Hadi yang juga pemilik Dealer Hino, karena tingginya beban pajak tersebut, banyak calon pembeli yang beralih membeli mobil di luar Bali. “Bayangkan kalau beli Alphard yang harganya Rp1 miliar, lagi berapa bisa hemat,” ujarnya. Akibat pengalihan pembelian kendaraan keluar daerah itu bukan saja merugikan daerah karena berkurangnya pemasukan pajak daerah juga berpengaruh terhadap omzet diler mobil. “Di tengah ekonomi yang lagi lesu ini, penjualan mobil juga ikut anjlok,” tegas Wirawan Hadi.
Karena itu, pengusaha angkutan minta kebijakan yang termuat dalam Perda Nomor 8 Tahun 2016 itu ditinjau lagi, sebab selain memberatkan pengusaha angkutan juga dampak jangka panjangnya merugikan pemasukan daerah. “Potensi kerugian miliaran rupiah, sebab ribuan kendaraan baru menggunakan pelat luar Bali untuk menghindari tingginya pajak BBNKB ini,” sentilnya. Menurut kedua pengusaha angkutan ini, sebenarnya pihaknya sudah menyampaikan masalah itu kepada pihak terkait termasuk Dewan. Namun sampai saat ini belum ada perubahan. Pajak BBNKB ini tetap bertahan 15 persen, padahal Jakarta dan sekitarnya hanya 10 persen.
Pengusaha angkutan lainnya yang juga Ketua Koperasi Taksi Ngurah Rai Wayan Pande Sudirta, SH juga cukup terbebani dengan adanya sejumlah kebijakan yang dirasa belum mendukung dunia usaha seperti terhambatnya urusan samsat karena izin salah satu persyaratan izin yang harus diurus di Jakarta. “Karena memakan waktu lama, kita di daerah jadi korban,” tambah Mantan Anggota DPRD Kota Denpasar ini sekaligus berharap ada kebijakan di daerah ketika izin belum selesai di pusat. Untuk diketahui, dalam rapat Pengurus Organda Bali tersebut juga dibahas masalah terminal Mengwi. Sebelum bisa beroperasi maksimal, pemerintah diharapkan bisa kembali membuka trayek AKAP (Angkutan Kota Angkutan Provinsi) di Terminal Ubung. Hasil rapat tersebut akan segera ditindaklanjuti dan disampaikan ke DPRD Bali.
You must be logged in to post a comment Login