HUKUM
Terkait Dugaan Kasus Jetty Bodong dan Pungli di Muntig Siokan 4 Pengusaha Diduga Terlibat
Denpasar, JARRAKPOS.com – Setelah begitu lama mendalami dugaan kasus bangunan jembatan jetty kapal tanpa ijin alias bodong, beserta praktek pungutan liar (Pungli) di kawasan Muntig Siokan, Desa Adat Interan, Sanur, Denpasar Selatan, Denpasar, akhirnya Polda Bali menemukan titik terang. Bahkan tidak tanggung-tanggung, karena tidak kurang dari 4 pengusaha diduga akan terjerat pidana khusus dalam kasus ini, karena telah mendapatkan uang masuk dari properti yang tidak sesuai ijinnya. “Sudah dilidik 4 pengusaha itu terlibat. Mereka segera dipanggil. Karena sudah jadi berita di media kasus ini tidak akan bisa berakhir 86 (damai, red),” ungkap sumber di lingkaran Polda Bali itu, seraya mewanti-wanti identitasnya terus disamarkan.
Melalui sejumlah informasi yang dikirim via WhatsApp beberapa waktu lalu, salah satu yang disebutkan adalah bos pemilik Akame yang juga sempat membangun usaha di Pelindo yang menjadi wilayah Pelabuhan Benoa. Pemilik Akame ini telah disinyalir menjadi salah satu pengusaha sebagai investor di kawasan Muntig Siokan sebelum diberhentikan kerja samanya secara langsung oleh Bendesa Adat Intaran saat ini. “Dari empat nama itu, salah satunya adalah bos pemilik Akame. Nanti akan diperiksa semuanya, termasuk Pak Bendesa (Desa Adat Intaran, red). Karena kerja sama investor ada di sana,” imbuh sumber itu lagi.
Uniknya, dari berbagai informasi menyebutkan selama kerja sama pengembangan kawasan Muntig Siokan sempat dikelola oleh Banjar Medura sesuai kesepakatan yang ditunjuk oleh Bendesa Adat intaran saat itu. Alhasil dana investasi yang dipinjam dari salah satu koperasi ternama di Desa Adat Intaran malah bangkrut, karena hasil usaha di muntig itu malah merugi. “Akibat merugi dan tidak ada hasil, termasuk koperasi itu sekarang bangkrut. Pegawai koperasinya saja sampai jual motor biar bisa hidup,” beber sumber lain yang merasa gerah dengan kondisi sosial dan ekonomi di wilayah Desa Adat Intaran.
Terkait kebenaran itu, pemilik Akame menyatakan, pihaknya membenarkan sempat dikontak Ditreskrimsus Polda Bali, karena telah berinvestasi di wilayah itu. Namun saat ini tidak pernah berurusan di kawasan Muntig Siokan, karena diberhentikan kerja sama pasca setelah Bendesa Adat Intaran yang baru terpilih. “Nggih nika dah kita juga kaget dibawa-bawa namanya, padahal sudah lama kita serahkan ke desa. Semenjak Covid 2 tahun lalu diambil alih oleh desa adat,” ungkap Gus Tu sapaan akrab pemilik Akame dengan PT Akustik ini.
Ia menjelaskan selama pandemi Covid-19 memang sempat tidak menjalankan bisnis, karena tidak ada tamu, sehingga pihak Desa Adat Intaran yang ingin mengelola supaya ada pemasukan. “Ya kalau dulu kita jelas ada kontribusi ke desa dan Pemkot. Dulu cuma kesepakatan manten kita invest di sana. Karena sama desa ya kita percaya saja. Dulu kan ada resto di sana jadi kita wajib bayar pajaknya. Tiang kurang tahu persisnya sekarang coba tanya ke kota (Pemkot Denpasar, red). Sayangnya ketika dikonformasi baik pihak Desa Adat Intaran dan Kepala Badan Pendapatan Daerah Kota Denpasar belum bisa merespon kasus ini.
Namun sebelumnya Anggota DPRD Kota Denpasar, Ir. A.A. Susruta Ngurah Putra menuding selama ini tidak ada pemasukan apapun ke kas daerah yang bersumber dari kawasan wisata Muntig Siokan. Sebelumnya, aparat Direktorat Reskrimsus (Ditreskrimsus) Polda Bali mendatangi lokasi itu melakukan penyelidikan. Polisi menindaklanjuti informasi dari warga mengenai dugaan pelanggaran hukum di sana. Mengenai penyelidikan yang dilakukan aparat kepolisian ini dibenarkan oleh Wadirreskrimsus Polda Bali AKBP Ambariyadi Wijaya. “Masih dalam penyelidikan. Semuanya masih lidik. Nanti saya sampaikan hasilnya,” tegasnya.
Di tempat terpisah, pengamat kebijakan publik Dr.Togar Situmorang mendesak aparat hukum, baik kejaksaan maupun Polda Bali segera bergerak karena kasus itu telah menjadi perhatian publik. Terlebih di kawasan Muntiq Siokan sudah lama berjejer bangunan liar alias diduga tidak berijin. Menurut dia, diduga ada oknum tertentu yang membangun semua sarana dan fasilitas tersebut. ‘’Kasus ini wajib ditelusuri, termasuk juga dana yang telah ditarik dari masyarakat dan dana parkir kapal yacht,’’ tegas Dr.Togar Sitomorang, seraya menambahkan bahwa lahan yang dimanfaatkan tersebut diserahkan ke Desa Sanur Kauh dan Desa Sidakarya dari Pemkot Denpasar tahun 2020.
‘’Kondisi di lapangan sangat mudah ditelusuri apakah ada dugaan perbuatan melawan hukum atau tidak? Tinggal dilihat di lapangan ada bangunan berjejer atau ada tempat parkir yacht mewah. Apakah ada keberanian para penegak hukum mengungkap dugaan pungli tersebut ke hadapan publik?’’ beber advokat dan pengamat kebijakan publik ini. ‘’Jajaran Ditreskrimsus Polda Bali sudah turun. Semoga bisa dikejar para pelaku dan ditangkap serta tempat tersebut ditutup sementara agar tidak ada barang bukti atau hal lain yang disamarkan atau dihilangkan. Bapak Kapolda Bali Irjen Pol Putu Jayan Danu Putra wajib memberi perhatian karena kasus ini sudah menjadi perhatian publik,” tutupnya.
Diketahui, Lembaga Swadaya Masyarakat Jaringan Reformasi Rakyat (LSM JARRAK) akhirnya ikut angkat bicara mengenai semakin jelasnya gerakan yang disinyalir mengatasnamakan penyelamatan lingkungan untuk menarik pemodal asing mendanai aksi tolak LNG di Desa Adat Intaran, Sanur, Denpasar. Aksi itu diduga hanya berkedok belaka, karena dari berbagai sumber media tidak semua pencaplokan lahan mangrove yang dibela, seperti aksi yang dilakukan oleh sejumlah oknum Desa Adat Intaran dan para penggiat lingkungan, terutama Walhi Bali. Hal itu, ditegaskan Ketua LSM JARRAK Bali, I Made Rai Sukarya menyebutkan mega proyek yang sangat terlihat jelas adalah pembangunan perluasan Pelindo di kawasan Pelabuhan Benoa yang telah mereklamasi hektaran lahan mangrove.
Contoh lain, adalah proyek Embung Sanur yang telah juga dipaksakan membabat lahan mangrove. Anehnya kedua proyek itu saja tidak pernah ditolak besar-besaran dengan aksi demo berjilid-jilid. Selain itu, Gubernur Bali, Wayan Koster sebelumnya sudah menegaskan pembangunan tempat penampungan LNG di Desa Adat Sidakarta tidak berada di areal mangrove. Karena itu, LSM anti korupsi ini menduga ada pihak lain yang memanfaatkan dan menunggangi aksi unjuk rasa tersebut. Bahkan, ia menduga ada pemodal besar gerakan ini dari sumber yang menerima manfaat gerakan aksi tolak LNG. “Kami meminta agar aparat penegak hukum, baik Polda Bali maupun Kejati Bali segera turun. Terutama KPK agar ikut mengusut dugaan sumber modal aksi tolak LNG tersebut. Kami siap dampingi untuk mengungkap kebenaran ini,” tegas Rai Sukarya kepada PancarPOS.com, saat ditemui pada Jumat (22/7/2022).
Selain mendesak mengusut sumber dana tolak LNG, LSM JARRAK Bali juga mempertanyakan sejauh mana pendalaman kasus bangunan jetty kapal yang diduga masih bodong, terutama dugaan pungutan liar (Pungli) di wilayah Taman Inspirasi Muntig Siokan, Desa Adat Intaran, Sanur yang hingga kini belum bisa tuntas. “Katanya semua yang diduga terlibat akan segera dipanggil. Tapi sampai sekarang belum jelas. Kita desak Polda Bali bekerja keras untuk mengungkap kasus itu. Kita tunggu keberanian Polda Bali, seperti apa nanti?,” pungkasnya. Diketahui sebelumnya, berbagai gerakan di bawah tanah yang diduga mendorong sejumlah warga Desa Adat Intaran, Sanur, Denpasar bersama Walhi Bali yang menolak pembangunan Terminal Khusus (Tersus) LNG di wilayah Desa Adat Sidakarya, Denpasar, terus menuai pro dan kontra di masyarakat. Baru-baru ini kabar tak sedap kembali muncul dibalik gerakan Intaran Tolak LNG dengan aksi demonya yang berkali-kali hingga aksi pemasangan Baliho dan Billboard yang tentu memakan biaya tidak sedikit.
Hal tersebut disinyalir telah ditunggangi bahkan ada yang mengatakan dimodali oleh berbagai pihak yang memiliki kepentingan dan tak ingin melihat Bali mandiri energi yang berkedok sebagai aksi penyelamatan lingkungan tersebut. Usut punya usut, satu unit billbord jumbo yang dipasang saja bisa membutuhkan dana sekitar Rp40 juta sampai bisa tembus Rp.120 juta per bulan yang harganya disesuai dengan ukuran dan lokasi billbord tersebut. Menariknya, khusus billbord jumbo ini semuanya berbahasa Inggris. Saat dikonfirmasi, salah satu marketing perusahaan reklame dan advertising ternama di Bali menyebutkan jika lokasinya berada di Sanur dan di pinggiran jalan Bypass I Gusti Ngurah Rai harganya cukup menggiurkan. Apalagi saat ini mulai new normal, sekaligus dekat perhelatan politik, sehingga per unit billbord bisa disewa hingga lebih dari Rp100 juta per bulan sesuai dengan kontrak yang diinginkan. “Paling murah bisa Rp45 juta per bulan,” katanya.
Selain billbord berukuran jumbo, juga berjejer baliho besar dan bendera dengan berbagai ukuran di kawasan Desa Adat Intaran. Uniknya, setelah melakukan aksi demo dengan membawa Batara yang menjadi simbol agama Hindu yang disakralkan di depan Kantor Gubernur, pada Senin, 11 Juli 2022 kembali bertebaran baliho dengan kata-kata berbahasa inggris. Karena itulah, wajar saja kini muncul desas-desus di masyarakat yang mempertanyakan dari mana sumber dana gerakan Intaran Tolak LNG ini berasal? Karena tidak sedikit pun yang menduga bahwa gerakan tersebut dimodali langsung oleh Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Adat Intaran, atau bahkan pihak-pihak lain yang diasumsikan sengaja dilakukan untuk mengalihkan kabar mengenai adanya dugaan korupsi di internal LPD Adat Intaran.
“Dari pagi WA masuk banyak sekali ke HP saya terkait Proyek LNG ini. Baru saja kita akan mulai bernafas menata pariwisata Bali Bangkit sudah ada demo ber jilid-jilid. Baliho berbahasa Inggris juga sudah menghiasi jalan protokol, yang mungkin saja ini disponsori pihak-pihak yang ingin pariwisata Bali makin terpuruk, mungkin juga ada peran LPD dibalik gerakan ini yang sengaja dilakukan untuk menutupi kabar dugaan korupsi yang terjadi, sekali lagi ini hanya dugaan saja. Tolong jangan biarkan pihak-pihak yg ingin Bali hancur dengan provokasi masyarakat menjelang G20. Pak Gubernur dan Pak Wali harus segera duduk ngopi bareng cari titik temu untuk suksesnya Nangun Sat Kerthi Loka Bali salah satunya dengan kemandirian energi Bali. Jangan bersilang statement dimedia. Sekarang ini tahun politik,” ungkap salah satu warga Bali yang menolak disebutkan namanya.
Dikonfirmasi secara terpisah terkait adanya dugaan LPD Adat Intaran menjadi pemodal dalam Gerakan Intaran Tolak LNG tersebut, pada Jumat (22/7/2022) siang, Ketua LPD Adat Intaran, I Wayan Mudana membantah adanya tudingan tersebut. Dirinya mengatakan Gerakan Intaran Tolak LNG tersebut murni dari hasil swadaya masyarakat di 20 banjar se Desa Adat Intaran. “Tidak ada yang kita modali, itu murni swadaya seluruh masyarakat Desa Adat Intaran. Tidak ada pemodalnya ataupun pihak lain yang membiayai (Gerakan Intaran Tolak LNG, red) ya kalau sudah urusan LNG, ya biarkan LNG. Begitu juga LPD biarkan LPD, jadi jangan dicampur adukan dan kami berharap ini bisa dimengerti,” tegas Wayan Mudana pada Jumat (22/7/2022).
Lebih lanjut, tidak sedikit juga masyarakat Bali yang menilai bahwa demo tolak LNG diduga hanya sebagai kedok penyelamatan lingkungan. Alasannya, karena sangat jelas Gubernur Bali, Wayan Koster sebelumnya secara langsung menanggapi aspirasi masyarakat, sehingga mengarahkan PT. DEB (Dewata Energi Bersih) membangun terminal penyimpanan LNG tidak lagi di areal mangrove. Untuk itulah, PT. DEB harus mendukung kebijakan pemerintah Provinsi Bali untuk memperhatikan serius aspirasi masyarakat terkait rencana pembangunan Tersus LNG di Sidakarya. Jika tidak didanai oleh Desa Adat Intaran, terus siapa yang menjadi pemodal aksi tersebut? Apalagi gerakan menolak proyek LNG diarahkan dalam bahasa Inggris. Ketika ditanya Bendesa Adat Intaran belum bisa merespon, hingga berita diturunkan.
Sementara itu, bola panas kasus dugaan pungutan liar (Pungli) dan bangunan tanpa ijin di kawasan Muntig Siokan, Desa Adat Intaran, Denpasar, Selatan, Denpasar terus menggelinding. Selama bertahun-tahun kejahatan terselubung itu, disinyar tetap berjalan mulus berkat dukungan oknum dan tokoh politik di balik layar yang memainan peran penting yang sengaja dibiarkan, sehingga belum pernah diendus oleh aparat penegak hukum di Bali. Padahal sudah terang-terangan dan telah bertahun-tahun bangunan diduga tak berijin bertengger, seperti bangunan permanen beton jetty penghubung kapal cepat atau speed boat dan wahana naik satwa langka berupa Unta di Tanam Inspirasi Muntig Siokan.
Setelah muncul pemberitaan di berbagai media, akhirnya aparat penegak hukum dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Bali langsung melakukan pendalaman untuk membongkar dugaan pelanggaran hukum yang terjadi di kawasan Muntig Siokan pada Senin (11/7). Bahkan, menyalip gerak cepat dari Kejari Denpasar atau pun Kejati Bali, rombongan Ditreskrimsus Polda Bali turun ke lapangan sekitar Pukul 12.00 WITA datang menghampiri dari Loket Pembayaran Taman Inspirasi Muntig Siokan. Selanjutnya baru menelusuri areal lainnya yang melewati jembatan kayu. Ada petugas polisi yang mengambil gambar, sedangkan aktivitas kunjungan wisatawan nampak berjalan normal.
Kedatangan Ditreskrimsus Polda Bali ini, setelah menjadi perbincangan dan sorotan publik terhadap aktivitas wisata kawasan Muntig Siokan. Setelah diteluauri jajaran Polda Bali itu, para pengelola kawasan Muntig Siokan, termasuk pihak Bendesa Adat Intaran bersama oknum yang bermain dibalik layar kasus ini terancam akan dipanggil Polda Bali untuk membuka tabir kebenaran tersebut. Dari para penuturan pengunjung diketahui tiket masuk ke Taman Inspirasi Muntig Siokan sebesar Rp10 ribu untuk dewasa dan Rp5 ribu untuk anak-anak. Dari tiket masuk itu tertera biaya masuk untuk perawatan dan pelestarian objek wisata yang ditandatangi Bendesa Adat Intaran, I Gusti Agung Alit Kencana, SE.
Sangat disayangnya ketika lama ditunggu oleh awak media, pihak Bendesa Adat Intaran tidak kunjung datang, hingga para petugas dari Ditreskrimsus Polda Bali usai melakukan pendalaman kasus ini. tim/ama/ksm
You must be logged in to post a comment Login