JARRAK Desak DPR Segera Panggil Ombudsman, Sidak Sukamiskin Dinilai Cacat Etika

Ket foto : Direktur Eksekutif Badan Pengurus Pusat (BPP) Jaringan Reformasi Rakyat (JARRAK), John K. Nahadin (Dok).

Jakarta, JARRAKPOS.com – Direktur Eksekutif Badan Pengurus Pusat (BPP) Jaringan Reformasi Rakyat (JARRAK), John K. Nahadin, mendesak DPR untuk memanggil Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Desakan ini berkaitan dengan kegiatan inspeksi mendadak (Sidak) Ombudsman di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu yang disebutnya meyalahi prosedur. Nahadin menjelaskan, sidak Ombudsmen berakibat pada opini publik yang tidak sehat. Pasalnya, temuan di Lapas Sukamiskin justru dipublikasikan tidak melalui prosedur kelembagaan. Sehingga kesan yang muncul adalah bahwa Ombudsman secara sengaja melanggar kode etik.

Baca juga :

https://jarrakpos.com/2018/09/16/jarrak-oknum-ombudsman-cari-popularitas-sidak-lapas-sukamiskin/

“Kami melihat ada okum ORI yang secara superior memberitakan opini sesat tanpa prosedur yang jelas. Karena itu kami meminta DPR Komisi II untuk segera memanggil Ombudsman dan meminta klarifikasi terkait kegiatan sidaknya yang ngaco dan menyalahi kode etik,” ungkap Nahadin melalui keterangan tertulisnya yang diterima Jarrak.id, Minggu (16/9/2018). Seharusnya, kata Nahadin, prosedur yang harus dilakukan Ombudsman adalah investagasi terlebih dahulu dengan melengkapi informasi bahkan dari detail paling kecil. Publikasi terkait prosedur pelayanan publik mesti dilakukan secara kelembagaan melalui konfimasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

“Bila mengacu pada kewenangan Ombudsman berdasarkan Pasal 8 UU Nomor 37 Tahun 2008, penyempurnaan organisasi dan prosedur pelayanan publik disampaikan kepada pimpinan penyelenggara terkait. Nah, yang ini tidak. Sehingga kesannya hanya ‘cari muka’,” kata Nahadin. Sementara itu, kata Nahadin, ukuran sel Setya Novanto yang kemudian menjadi soal membuktikan bahwa Ombudsman buta sejarah. Bangunan Lapas Sukamisin, lanjut dia, merupakah haritage peninggalan bangsa koloni Belanda.

Baca juga :

https://jarrakpos.com/2018/09/06/gangguan-sistem-500-kv-bali-dan-jawa-timur-sudah-normal/

“Ukuran sel Sukamiskin kan sudah dikluster oleh Bangsa Belanda sejak tahun 1918. Jadi memang dari total ruangan 552 sel, ada sekitar 40 sel dengan ukuran yang sama seperti yang ditempati Setya Novanto. Karena itu, butuh peyesuaian demi membuat warga binaan juga hidup manusiawi,” kata Nahadin. “Kalapas sudah jelaskan detail soal itu. Sebutan sel mewah oleh Ombudsman hanya streotip ngaco yang bisa menimbulkan persepsi tak sehat masyarakat. Ini juga menjadi bukti bahwa sidak Ombudsman berjalan cacat,” imbuh dia.

Ik.16/8/2018

Diungkapkan Nahadin, sistem pembinaan narapidana di Sukamiskin adalah pemasyarakatan, bukan penjara. Karena itu, Nahadin meminta semua pihak untuk tetap memandang manusiawi narapidana. Menurutnya, dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 menyebutkan bahwa warga binaan pemasayrakatan sebagai insan dan sumber daya manusia yang harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi. “Warga binaan hakikatnya adalah masyarakat yang harus diperlakukan manusiawi. Mereka bukan sampah. Mereka juga manusia yang memiliki rasa dan cita yang sama. Kebutuhan akan hak hidup mereka sama. Mereka dipaksa berpisah dengan keluarga untuk kemudian dibina mentalnya di Lapas. Jadi jangan bunuh karakter mereka dengan anggapan miring pihak yang sok suci,” pungkasnya. rak/ama