DAERAH
Kadin Bali Tolak Keras Megaproyek Bali Crossing
Ketua Umum Kadin Bali AA Ngurah Alit Wiraputra (tengah).
DENPASAR, JARRAKPOS – Rencana PT PLN membangun tower Saluran Udara Tegangan Eksta Tinggi (SUTET) Listrik Jawa Bali Crossing (JBC) mendapatkan penolakan keras dari kalangan pelaku pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bali. Setelah Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali dan Gubernur Bali Made Mangku Pastika tidak sepakat terhadap rencana tersebut. Penolakan terjadi karena kabel SUTET yang melintas dinilai riskan yang nantinya menjadi jembatan Jawa Bali.
Menurut Ketua Umum Kadin Bali AA Ngurah Alit Wiraputra Pulau Dewata memerlukan pembangunan energi listrik secara mandiri agar tidak bergantung dengan daerah lain. Seharusnya, Bali sebagai destinasi pariwisata menjadi contoh yang pertama mampu menerapkan energi terbarukan sehingga sejalan dengan pengembangan pariwisata yang mengedepankan pelestarian lingkungan (Bali Clean and Green). “Masih banyak solusi lainnya dalam menjadikan Bali yang mandiri energi bisa dari air, angin, matahari dan sumber lainnya,” kata Alit ditemui di Denpasar, Selasa (23/1/2018).
Ia didampingi Dewan Pertimbangan Kadin Bali Komang Gede Subudi, dan Ketua Apindo Bali I Nengah Nurlaba meyakinkan bahwa Bali mampu memiliki kemandirian energi, salah satunya dengan memanfaatkan sumber dari tenaga air bendungan dan waduk. Disebutkan bendungan Titab Singaraja sebentar lagi sudah menghasilkan listrik, sedangkan di Mengwi sedang dibangun.
Selanjutnya daerah Kerambitan dan kemudian di Klungkung yang sudah siap ibangun dan menghasilkan listrik. “Belum lagi dari sampah apabila dikelola dengan baik akan menghasilkan listrik 40 Megawatt memang investasinya mahal tetapi saya yakin orang Bali pasti mampu membelinya,” bebernya Alit.
Sementara itu, pihaknya menyangangkan keuntungan JPC nantinya akan diambil ke pemerintah pusat. Sebenarnya investor pengembangan energi terbarukan berdatangkan dari luar negeri karena memiliki peluang yang besar ke depannya. Maka dari itu, pihaknya menginginkan kepada para pemimpin Bali kedepan dapat mengontrol Pulau Dewata supaya memperjuangkan menjadi daerah mandiri energi.
Seharusnya ada pihak yang berani menandatangani energi terbarukan dengan harga yang “reshunable”. Termasuk PLN harus mau membeli energi yang dihasilkan sebesar 18,5 sen Dollar per kWh atau dikisaran 20 sen dan menjualnya lagi boleh diatas 20 sen. Alit menilai mahalnya harga yang diberikan oleh PLN pasalnya berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik yang dihasilkan oleh industri swasta sangat kecil untuk Bali.
Oleh karena berpatokan terhadap listrik Jawa yang dibeli hanya 6 sen Dollar per kWh. Sedangkan PLN di Bali menjual kepada industri pariwisata diatas 20 Sen Dollar per kWh sehingga keuntungannya yang didapatkan terlalu besar keuntungnya. Padahal untuk energi terbarukan 17,5 sen dolar per kWh dan dipastikan jutaan investor akan berani berinvestasi.
Mahalnya harga yang diberikan dikarenakan PLN membeli pada Paiton, sayangnya industri pariwisata tidak ada yang mengeluhkan permasalahan harga tersebut. “Saya tidak pernah ada yang mendengar hotel bangkrut tidak membayar listrik, maka saya berharap kepada Pemimpin Bali kedepan mau memikirkan menjadi mandiri energi,” ujarnya.
Maka dari itu, pihaknya mengusulkan manajemen Bali agar menjadi satu (One Management One Island) sehingga adanya pemerataan pembangunan. Namun hak-haknya tetap dikembalikan pada masing-masing kabupaten/kota. aya/ama
You must be logged in to post a comment Login