HUKUM
Keadilan Tuhan Akan Datang, Tim Kuasa Hukum Desa Adat Bugbug Beberkan Pasal 16 dan 28 Awig-Awig Desa Adat Bugbug Jadi Kunci Hakim Tolak Gugatan Perdata Terhadap Kelian Desa Adat Bugbug
Karangasem, JARRAKPOS.com – Tim Kuasa Hukum Desa Adat Bugbug Gede Ngurah yang juga Penglingsir Desa Adat Bugbug memberikan penjelasan dan membeberkan fakta yang sebenarnya terkait klaim dan gugatan perdata Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilayangkan pihak yang mengatasnamakan perwakilan krama terhadap Kelian Desa Adat Bugbug Nyoman Purwa Arsana dimana gugatan perdata Perbuatan Melawan Hukum (PMH) diajukan di Pengadilan Negeri (PN) Amlapura, Karangasem.
Persoalan ini bermula dari persoalan penyewaan lahan milik Desa Adat Bugbug di masa kepemimpinan Kelian Desa Adat Bugbug Nyoman Purwa Arsana untuk pembangunan akomodasi vila/resort yang dinilai oleh sekelompok orang tanpa persetujuan seluruh krama. Sementara dari pihak prajuru Desa Adat Bugbug bersikukuh bahwa proses pengambilan kebijakan penyewaan lahan tersebut sudah melalui mekanisme paruman dan sudah sesuai dengan aturan awig-awig Desa Adat Bugbug.
Gede Ngurah lantas menjelaskan dengan gamblang isi bunyi awig-awig yang menjadi landasan pengambilan kebijakan penyewaan lahan yang prosesnya disebut sudah sangat terbuka atau transparan, demokratis dan melibatkan seluruh krama melalui perwakilan mereka yang disebut Nayaka Desa.
Dia membacakan bunyi Paos/Pasal 16 Awig-Awig Desa Adat Bugbug mengenai Paruman Nayaka Desa. Intinya para Nayaka Desa berasal dari krama desa. Kedua, para Nayaka Desa dipilih setiap lima tahun sekali. Krama Banjar yang menjadi Nayaka Desa dipilih oleh krama banjar di tiap-tiap banjar.
Krama Banjar yang duduk di Nayaka Desa merupakan wakil krama di tiap-tiap banjar. Krama Desa Adat Bugbug yang tinggal di rantauan juga dapat perwakilan. Selain itu ada utusan daerah yang dipilih Kelian Adat Desa Adat Bugbug ditempatkan di Nayaka Desa, masing-masing banjar dapat 3 orang.
“Jadi dari 12 Banjar Adat di Desa Adat Bugbug total anggota Paruman Nayaka Desa ada 36 orang, ditambah utusan dari Kelian Desa Adat 3 orang, jadinya 39 orang. Tambah perwakilan krama Bugbug yang tinggal di Buleleng dapat 3 orang, Denpasar 3, Pancasari 3, Klungkung 3. Itulah Paruman Nayaka Desa yang oleh Perda Desa Adat sekarang identik dengan sebutan Sabha Desa. Dinilah Prajuru Desa Adat mengadakan musyarawah dengan wakil krama yang duduk di Sabha Desa atau Paruman Nayaka Desa,” terang Gede Ngurah.
Dalam konteks ada kebijakan dari prajuru Desa Adat Bugbug yang dipimpin Kelian Desa Adat Bugbug Nyoman Purwa Arsana (layaknya eksekutif) ketika ingin menyewakan tanah milik Desa Adat yang tentunya untuk kesejahteraan seluruh krama Desa Adat Bugbug, maka ditanyakan persetujuannya melalui Paruman Nayaka Desa ini (semacam legislatif).
“Kelian tanya ke Paruman Nayaka Desa soal mau sewakan tanah, harganya silakan ditentukan di paruman. Disanalah ada persetujuan bersama dalam Paruman Prajuru Dulun Desa yang merupakan paruman gabungan antara Prajuru Desa dengan Paruman Nayaka Desa. Disitulah bersepakat membahas disewakan atau tidak disewakan,” beber Gede Ngurah.
Jadi jelas penyewaan lahan tanah milik Desa Adat Bugbug di masa kepemimpinan Kelian Adat Desa Adat Bugbug Nyoman Purwa Arsana sudah sesuai mekanisme dan sudah sesuai awig-awig di desa adat. Lantas kalau ada argumentasi bahwa penyewaan lahan itu harus mendapatkan persetujuan seluruh krama sehingga berakibat pada kebijakan penyewaan tanah desa adat yang diambil Kelian Desa Adat Bugbug dianggap bermasalah atau cacat hukum, Gede Ngurah kembali menegaskan dan meluruskan pemahaman yang keliru tersebut. Bahwa jelas pengambilan keputusan bersama dilakukan melibatkan Paruman Nayaka Desa yang sudah merupakan representasi perwakilan krama dan disepekati bersama Prajuru Desa Adat dalam Paruman Prajuru Dulun Desa.
Jadi ketika sudah ada persetujuan bersama Paruman Nayaka Desa dan Paruman Prajuru Dulun Desa artinya juga mewakili persetujuan seluruh krama karena Paruman Nayaka Desa membawa mandat aspirasi dari krama. Sekalipun dalam penyewaan tersebut sudah mendapat persetujuan Paruman Prajuru Dulun Desa, tetapi Kelian Desa Adat Bugbug tetap mensosialisasikan tentang penyewaan tanah desa adat tersebut kepada Krama Desa lewat 12 Banjar Adat secara bergantian.
“Jadi aspirasi krama sudah diadopsi lewat Paruman Nayaka Desa dan disepakati bersama dalam Paruman Prajuru Dulun Desa. Karena terlalu banyak krama Desa Adat Bugbug tidak mungkin kita tanya satu satu persetujuannya, tapi melalui perwakilan mereka yang adalah Nayaka Desa. Kalau ada protes dari masyarakat silahkan melalui wakil Anda yang duduk di Nayaka Desa dan disampaikan melalui Paruman Nayaka Desa. Tidak boleh ada krama yang liar begitu menyampaikan aspirasi,” terang Gede Ngurah.
Dia pun memberikan ilustrasi yang kurang lebih esensi dan substansinya sama ketika seorang Gubernur Bali ingin menyewakan tanah aset milik Pemerintah Provinsi Bali tentu sudah ada tatacara dan aturan hukumnya. Dan ketika ingin menyewakan aset tersebut, tidak mungkin Gubernur Bali bertanya satu-satu kepada masyarakat Bali atau meminta persetujuan kepada seluruh penduduk Bali yang berjumlah lebih dari 4,3 juta orang.
Tentu jikapun perlu persetujuan maka lewat perwakilan masyarakat Bali yakni melalui para wakil rakyat anggota DPRD Bali yang berjumlah 55 orang yang menjadi representasi dan berkewajiban membawa suara serta aspirasi rakyat Bali. Jadi sepanjang sudah sesuai aturan dan jikapun perlu mendapat persetujuan atau keputusan bersama DPRD Bali, maka proses penyewaan aset Pemprov Bali adalah sah secara hukum walaupun tidak mendapatkan persetujuan langsung dari 4,3 juta orang penduduk Bali.
Lebih lanjut Gede Ngurah mengatakan mekanisme seperti yang dilakukan di era Kelian Desa Adat Bugbug Nyoman Purwa Arsana dalam persetujuan atau keputusan bersama untuk menyewakan lahan dengan melibatkan persetujuan Paruman Nayaka Desa dan disepakati bersama dalam Paruman Prajuru Dulun Desa menjadi proses yang sudah berjalan selama berpuluh-puluh tahun, juga ketika di era Kelian Desa Adat Bugbug sebelumnya yakni I Wayan Mas Suyasa dalam kurun waktu tahun 1990-2020.
“Dari tahun 1990 sampai 2020 itu terjadi. Kok baru sekarang dipermasalahkan. Malah di era sebelumnya lebih jelek dari sekarang karena ada salah satu tanah desa adat disewakan hanya dengan persetujuan staf pimpinan prajuru desa buka melibatkan Paruman Nayaka Desa. Itu luar biasa salahnya kalau kita mau bicara kebenaran. Tapi tiang sebagai orang yang cinta desa melihat kedamaian desa ini lebih tinggi nilainya daripada kesalahan-kesalahan sebelumnya,” ungkap Gede Ngurah.
Lalu ketika kebijakan penyewaan tanah desa adat di era Kelian Desa Adat Bugbug Nyoman Purwa Arsana sudah sesuai mekanisme dan prosesnya sudah transparan serta demokratis sesuai Awig-Awig Desa Adat Bugbug, apakah bisa dipersoalkan kembali dengan gugatan perdata PMH? Lalu secara hukum bagaimana posisinya kekuatan awig-awig ini dan bagaimana dengan penghormatan terhadap hukum adat dan awig-awig dalam suatu desa adat di Bali?
Ditanya demikian Gede Ngurah yang juga seorang advokat ini memberikan pandangan hukumnya. “Ini masih debatable apakah hakim akan menggunakan asas hukum bahwa pengadilan tidak boleh menolak perkara lantaran belum ada aturan yang mengatur. Kalau itu yang dipakai hakim, maka hukum adat ini mempunyai dasar kuat untuk dipakai acuan menerima gugatan. Tetapi jika hakim menolak gugatan ini, hakim akan mengembalikan persoalan ke desa adat ke Paruman Sabha Desa di desa adat. Jadi hakim akan menolak semua itu,” terang Gede Ngurah.
Lebih lanjut dikatakan, jika hakim mengacu kepada pengakuan dan penghormatan atas eksistensi masyarakat hukum adat maka bisa saja gugatan perdata PMH tersebut ditolak dan dikembalikan kepada hukum adat yang berlaku di desa adat bersangkutan, dalam hal ini mengacu kepada Awig-Awig Desa Adat Bugbug.
Terlebih konstitusi negara kita mengakui hal tersebut. Pengakuan negara atas masyarakat hukum adat diakui melalui Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Lebih lanjut, pengakuan tersebut diuraikan melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Di dalam UU Desa, wewenang desa adat untuk menyelesaikan permasalahan hukum warganya diakui oleh negara melalui Pasal 103 huruf d dan e UU Desa. Di pasal itu disebutkan kewenangan Desa Adat berdasarkan hak asal usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah; penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Di luar UU Desa, posisi keputusan-keputusan dari proses penyelesaian sengketa adat pun diakui sebagai salah satu sumber hukum bagi hakim. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU 48/2009) yang menyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
“Jadi seperti tadi ada dua kewenangan hakim menolak dan menerima mengadili gugatan perdata ini dengan argumentasinya. Kalau hakim menyatakan menolak dan mengembalikan persoalan ini ke desa adat lewat Paruman Sabha Desa, tidak salah hakim seperti ini karena juga mengacu kepada pengakuan dan penghormatan negara atas masyarakat hukum adat. Tapi kalaupun hakim menyatakan tidak boleh menolak perkara lantaran tidak ada hukum positif yang mengatur, tentu hakim menerima untuk mengadili gugatan itu tapi tentu menggunakan senjata awig-awig, ujung-ujungnya hakim akan melihat awig-awig yang belaku di Desa Adat Bugbug karena itu hukum adat yang berlaku yang harus dihormati oleh hakim,” papar Gede Ngurah.
Jadi ketika walaupun hakim menerima untuk mengadili gugatan perdata PMH ini maka dalam putusannya ada kemungkinan hakim menolak gugatan penggugat atau dengan kata lain tidak mengabulkan keseluruhan isi gugatan penggugat?
“Bisa (gugatan) ditolak hakim kalau memang ada pasal yang tidak mereka (penggugat) tarik sebagai kekuatan dan landasan untuk mengajukan gugatan. Mereka melandasi argumentasi dengan tidak ada persetujuan krama dalam penyewaan tanah desa adat dimaksud. Tapi mengacu di awig-awing, krama itu sudah diwakili oleh Nayaka Desa dan diadopsi lewat Paruman Nayaka Desa,” terang Gede Ngurah.
Lebih lanjut Gede Ngurah juga menguliti dasar hukum yang digunakan penggugat untuk mengajukan gugatan perdata Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yakni mengacu pada poin Paos/Pasal Pasal 28 Angka 5 Awig-Awig Desa Adat Bugbug. Dia lantas menjelaskan bunyi pasal awig-awig tersebut yang intinya berbunyi“Tan kalugra ngadol utawi ngesahang padruwen desa yan tang kasungkemin antuk krama desa.” Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi berbunyi “Tidak dizinkan menjual atau mengesahkan milik desa kalau tidak mendapat persetujuan krama desa.”
“Jadi pasal itu yang dijadikan dasar menggugat. Harus kita cermati di pasal itu disebut menjual atau mengesahkan, yang artinya tidak boleh menjual atau mengesahkan jual beli tanah milik desa tanpa persetujuan krama desa. Di awig-awig itu tidak ada bahasa larangan menyewakan tanah desa. Sedangkan kebijakan yang ada saat ini adalah menyewakan tanah desa, dan itupun sudah mendapatkan persetujuan krama lewat Paruman Nayaka Desa,” urai Gede Ngurah.
“Pertanyaan tiang, apakah di awig-awig yang dimaksud ngesahang itu sama dengan sewa-menyewa. Ini kan harus ada kesamaan pemahaman kita,” jelas Gede Ngurah lebih lanjut.
Namun Gede Ngurah mengaku tidak ingin punya pemahaman dan argumentasi subjektif atas terjemahan dan makna bunyi awig-awig tersebut. Karena itu pihaknya akan meminta tolong dengan mengajukan permohonan kepada Balai Bahasa Provinsi Bali untuk membantu menerjemahkan bunyi awig-awig yang dijadikan landasan hukum gugatan tersebut. Pihaknya juga akan mendatangkan ahli bahasa ketika persidangan gugatan perdata ini berlanjut.
“Supaya lebih akurat kami minta Balai Bahasa Provinsi Bali menerjemahkan poin yang dijadikan acuan gugatan PMH. Kalau dari sana tidak mengandung makna nilai sewa-menyewa maka habis gugatan itu. Kami yakin seyakin-yakinnya bahwa kami bisa memenangkan gugatan itu,” terang Gede Ngurah.
Dia lantas menjelaskan memori dan filosofi lahirnya Paos/Pasal Pasal 28 Angka 5 Awig-Awig Desa Adat Bugbug tersebut dengan mengacu kepada Memorie van Toelichting. Dalam konteks penyusunan peraturan perundang-undangan, istilah Memorie van Toelichting mengacu kepada risalah atau catatan yang berisi penjelasan yang melatarbelakangi rumusan pasal-pasal dalam suatu peraturan perundangan-undangan sebagai sumber interpretasi hukum. Jadi dalam konteks Awig-Awig Desa Adat Bugbug maka Memorie van Toelichting mengacu kepada kepada risalah atau catatan yang berisi penjelasan yang melatarbelakangi rumusan lahirnya /Pasal Pasal 28 Angka 5 Awig-Awig Desa Adat Bugbug tersebut.
“Latar belakang dari munculnya pasal itu, adalah bentuk perlindungan agar jangan sampai tanah desa dijual, tidak ada lebih daripada itu, sehingga perlu mendapat persetujuan krama desa. Ini yang perlu kita maknai dengan baik apa maksud dan latar belakang pasal ini dituangkan. Kalau menyewakan kan tidak hilang tanah desa,” tutur Gede Ngurah.
Namun di sisi lain Gede Ngurah menghormati gugatan perdata yang dilayangkan penggugat, I Nyoman Jelantik selaku Jro Bendesa Adat Bugbug yang mengklaim diri sebagai perwakilan warga Desa Adat Bugbug, Karangasem. Baginya sangat positif persoalan ini dibawa ke ranah persidangan yang nanti putusannya adalah mewakili putusan Tuhan karena hakim dianggap sebagai perwakilan Tuhan dalam memberikan keadilan di dunia ini melalui proses hukum di persidangan di muka pengadilan yang terhormat.
“Kita positif saja, kita terima langkah mereka, mereka masuk ke lembaga yang namanya lembaga peradilan Tuhan. Dari gugatan ini kebenaran akan terungkap. Masuk dalam keputusan Tuhan, saya yakin ini menang. Karena itu penafsiran tiang, tidak ada bahasa awig-awig yang melarang penyewaan tanah desa dari awal sampai akhir awig-awig. Maka saya minta Balai Bahasa menerjemahkan agar jelas makna mengesahkan di Paos 28 angka 5. Kita juga akan hadirkan saksi ahli yaitu ahli bahasa. Inilah yang akan membackup kebenaran karena putusan pengadilan itu keputusan Tuhan. Kami yakin keadilan Tuhan akan datang kepada kami lewat kemenangan nanti,” terangnya.
“Kalau kebijakan yang diambil Kelian Desa Adat sekarang dianggap salah, maka semua kebijakan yang tidak memerlukan persetujuan seluruh krama secara langsung, sewa menyewa sebelumnya di era Mas Suyasa harusnya dipersoalkan juga dan harus dikembalikan kepada desa. Semua harus berlaku sama terhadap sewa menyewa sebelumnya,” tegas Gede Ngurah.
“Kalau lanjut persoalan hukumnya kita akan keluarkan bukti surat. Apa yang terjadi di kala pemerintahan desa adat dipimpin Mantan Kelian Desa Adat I Wayan Mas Suyasa. Kita akan tarik ke belakang perjanjian sewa-menyewa yang tidak ada satu pun perjanjian itu mendapatkan persetujuan langsung seluruh krama,” tutur Gede Ngurah.
Dia juga mengaku heran Kelian Desa Adat Bugbug Nyoman Purwa Arsana dilaporkan menyerobot tanah desa. “Pakai logika hukum saja. Kelian Desa Adat dilaporkan menyerobot tanah. Pertanyaan kita, siapa yang pemilik tanah? Bagaimana perbuatan penyerobotannya? Apakah digunakan sendiri atau untuk kepentingan masyarakat? Dalam konteks penyewaan tanah desa ini kan bukan untuk kepentingan pribadi. Jadi kita akan laporkan balik dugaan laporan palsu dan dugaan pencemaran nama baik seseorang. Bagaimana orang dikatakan menyerobot tanah, sedangkan orang tidak menikmati disana, itu dugaan laporan palsu junto dugaan pencemaran nama baik,” pungkas Gede Ngurah. tim/jp
You must be logged in to post a comment Login