NEWS
Akademisi Ubhara Berharap Proposal Kenegaraan Ketua DPD RI Bawa Perbaikan Bangsa
SURABAYA – Jajaran Civitas Akademika Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya mengapresiasi proposal kenegaraan yang dirumuskan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. Proposal kenegaraan yang sudah disampaikan Ketua DPD RI di berbagai kesempatan itu diharapkan dapat membawa perbaikan bagi bangsa ke depannya.
Hal itu terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) Membedah Proposal Kenegaraan DPD RI dengan tema ‘Menyempurnakan dan Memperkuat Sistem Bernegara Sesuai Rumusan Pendiri Bangsa’ yang diselenggarakan di Kampus Ubhara, Sabtu (2/9/2023).
Dosen Hukum Tata Negara/Administrasi Negara Universitas Bhayangkara Surabaya, Jamil menuturkan, dari lima proposal kenegaraan yang disampaikan LaNyalla, ia melihat proposal pertama hingga ketiga menarik untuk diberikan perhatian serius.
Dikatakan Jamil, soal teori kedaulatan rakyat mengacu kepada JJ Rousseau dan Thomas Hobbes, di mana bermakna bahwa kekuasaan rakyat sebagai kekuasaan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi harus mencerminkan kehendak umum/bersama.
Lalu, kata dia, rakyat sendiri yang menentukan bagaimana ia dipimpin dan oleh siapa ia dipimpin. Hal terpenting juga adalah bahwa setiap orang memiliki hak untuk menentukan dirinya sendiri dan untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan tang menyangkut seluruh rakyat.
“Teori kekuasaan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara menjembatani kedua tokoh tersebut di atas,” tutur Jamil. Dikatakannya, proposal tawaran kedua akan ada kekuatan di parlemen, dalam hal ini DPR RI yakni dari partai politik dan perseorangan. “Inilah bentuk check and balance. Sekarang ini kan tidak ada check and balance,” tutur Jamil.
Untuk proposal tawaran ketiga, yang terpenting adalah tolok ukur kualifikasi siapa Utusan Daerah dan Utusan Golongan yang dimaksud.
Staf pengajar di Fakultas Hukum Ubhara lainnya, Siti Ngaisah menilai perlu beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam proposal kenegaraan yang diajukan Ketua DPD RI. Yang terpenting, kata dia, indikator masing-masing proposal terperinci dengan jelas.
“Misalnya MPR yang akan dikembalikan sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Harus diperjelas bagaimana MPR akan bekerja dalam kerangka sistem ketatanegaraan kita dan lain sebagainya,” ujar Siti Ngaisah.
Yang terpenting dari semua itu, Siti Ngaisah sependapat orientasi akhir dari proposal kenegaraan yang diajukan oleh Ketua DPD RI. Tentunya, demi perbaikan sistem kenegaraan kita. “Tentu ini adalah upaya untuk memastikan kesejahteraan masyarakat Indonesia dan mencapai tujuan bernegara yang berdasarkan Pancasila,” tutur Siti Ngaisah.
Dalam FGD itu, dua orang narasumber dihadirkan. Mereka adalah Pengamat Ekonomi-Politik, Dr Ichsanuddin Noorsy, Dosen Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Indonesia, Dr Mulyadi.
Dalam paparannya, Ichsanuddin Noorsy menilai tak habis pikir bagaimana restrukturisasi kelembagaan yang terjadi di Indonesia berjalan tanpa dasar dan teori yang jelas. “Check and balance tidak jelas. Kalau Presiden salah siapa yang menegur. Prosesnya itu panjang kalau mau impeachment. Tapi hasil akhir, kembali diserahkan kepada DPR RI,” tutur Ichsanuddin.
Ichsanuddin menilai apa yang saat ini terjadi di Indonesia, arah perjalanan bangsa hanya ditentukan oleh sembilan orang ketua umum partai politik saja. “Bagaimana mungkin arah perjalanan bangsa ini hanya ditentukan oleh sembilan orang ketua umum partai politik saja. Tidak salah kalau disebut bahwa negara ini hanya dikendalikan oleh partai politik saja,” ujar Ichsanuddin.
Dikatakan Ichsanuddin, problematika yang saat ini ada sumbernya ada di hulu, bukan di hilir. Itu sebabnya, wacana untuk mengkaji ulang sistem bernegara kita adalah suatu hal yang menjadi keharusan.
Dalam paparannya Noorsy banyak membedah filosofi dari Azas bernegara Indonesia, yang kemudian menjadi kacau karena sudah tidak sambung antara azas dan sistem akibat amandemen di era reformasi.
Narasumber lainnya, Dr Mulyadi menambahkan, semangat Reformasi saat itu agak berlebihan sehingga pada akhirnya dilakukan amandemen konstitusi sebanyak empat tahap pada tahun 1999-2002. “Padahal, kalau fakta berbeda dengan teori, ubah faktanya, bukan ganti teorinya. Saat itu, MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara itu hanya ada di Indonesia. Tapi itu kita ubah. Kita rusak semuanya,” kata Mulyadi.
Jika melihat realitas saat ini, Mulyadi menyebut sistem demokrasi tak memberikan kualitas yang baik bagi pelaksanaan kedaulatan rakyat yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. “Kalau kita lihat saat ini, demokrasi macam apa yang Anda janjikan dalam mengelola Republik ini. Pertanyaannya juga, apakah saat ini kita sudah berdaulat? Jawabnya tidak,” tegas Mulyadi.
Bukan tanpa alasan hal itu dikatakannya. Menurut dia, ciri-ciri kedaulatan adalah kita diberikan hak mengatur segalanya. “Saat ini yang terjadi seperti apa? Tidak seperti itu. Indonesia ini gabungan dari bangsa-bangsa lama. Nah sekarang, rakyat itu tak punya kekuasaan. Tak bisa menyatakan dan mengurus apa yang menjadi kehendaknya,” tutur Mulyadi.
Dalam keynote speech-nya, sebagai inisiator gerakan penyempurnaan dan penguatan sistem bernegara sesuai rumusan pendiri bangsa, Ketua DPD RI menawarkan lima proposal kenegaraan yang menurutnya telah mengadopsi apa yang menjadi tuntutan Reformasi tentang pembatasan masa jabatan presiden dan menghapus KKN serta penegakan hukum.
Proposal pertama, kata LaNyalla, yakni mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sebagai sebuah sistem demokrasi yang lengkap dan berkecukupan, yang tidak hanya diisi oleh mereka yang dipilih melalui pemilu, tetapi juga diisi oleh utusan-utusan komponen masyarakat secara utuh, tanpa ada yang ditinggalkan.
Kedua, membuka peluang anggota DPR berasal dari peserta pemilu unsur
perseorangan atau non-partisan. Sehingga anggota DPR tidak hanya diisi dari peserta pemilu unsur anggota partai politik saja. Hal ini sebagai bagian dari memastikan bahwa proses pembentukan Undang-Undang yang dilakukan DPR bersama Presiden, tidak didominasi oleh keterwakilan political group saja. Tetapi juga secara utuh dibahas juga oleh people representative.
Ketiga, memastikan Utusan Daerah dan Utusan Golongan diisi melalui
mekanisme utusan dari bawah. Bukan ditunjuk oleh presiden, seperti
terjadi di Era Orde Baru. Dengan komposisi Utusan Daerah yang berbasis
kesejarahan negara-negara dan bangsa lama di Nusantara, yaitu raja dan
sultan nusantara, serta suku dan penduduk asli Nusantara. Dan Utusan
Golongan yang bersumber dari Organisasi Sosial Masyarakat dan
Organisasi Profesi yang memiliki kesejarahan dan bobot kontribusi bagi
pemajuan Ideologi, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan Keamanan dan
Agama bagi Indonesia.
Keempat, memberikan ruang pemberian pendapat kepada Utusan Daerah dan
Utusan Golongan terhadap materi Rancangan Undang-Undang yang dibentuk oleh DPR dan Presiden, sehingga terjadi mekanisme keterlibatan publik yang utuh dalam pembahasan Undang-Undang di
DPR.
Dan kelima, menempatkan secara tepat tugas, peran dan fungsi Lembaga Negara yang sudah dibentuk atau sudah ada di era Reformasi, dengan tolok ukur penguatan sistem Demokrasi Pancasila.
Pada kesempatan itu, Ketua DPD RI didampingi Staf Khusus Sefdin Syaifudin, Kepala Kantor DPD RI Wilayah Jawa Timur, Rony Suharso dan Pegiat Konstitusi, dr Zulkifli S Ekomei.
Sedangkan dari Civitas Akademika Universitas Bhayangkara dihadiri Wakil Rektor III Ubhara Ismail, S.Sos., M.Si, Dekan Fakultas Hukum Ubhara Dr Karim, Dosen Hukum Tata Negara/Administrasi Negara Ubhara Jamil, Staf pengajar di Fakultas Hukum Ubhara, Siti Ngaisah, moderator Azizul Hakiki beserta ratusan mahasiswa.(*)
BIRO PERS, MEDIA, DAN INFORMASI LANYALLA
You must be logged in to post a comment Login