NEWS
Dikasih Sembako Setahun Sekali, Pelindo Ngaku Proyek Reklamasi Berdampak Bagi Desa Penyangga
Badung, JARRAKPOS.com – Deputi Manager Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Pelindo Sub Regional Bali Nusra, Sulitya Ningsih mengatakan, adanya proyek reklamasi Pelindo sudah pasti akan memberikan dampak salah satunya bagi desa penyangga, seperti Desa Adat Tanjung Benoa. Namun dia tidak menjelaskan secara rinci apa yang menjadi penyebab, sehingga proyek tersebut malah mendapat keluhan. Pihaknya mengaku menghadiri pertemuan rapat bersama Bendesa dan Prajuru Desa Adat Tanjung Benoa di Wantilan Desa Adat Tanjung Benoa, Kuta Selatan, Badung, Selasa sore (25/10/2022) untuk mengetahui apakah kompensasi dari dampak tersebut ada yang belum terserap dan belum tersampaikan ke Pelindo, seperti bantuan Sembako yang telah diserahkan setiap tahun sekali.
“Pertemuan ini sangat bagus, ke depan kita akan merencanakan pertemuan rutin, sehingga aspirasi dari warga bisa terserap,” jelasnya.
Sulistya mengakui, pihaknya dalam beberapa bulan ini akan membuatkan program untuk Desa Adat Tanjung Benoa dan sudah masuk RKA Tahun 2023, yaitu BMTH Intergrasion yang diawali di wilayah ring satu. Dan ini merupakan program hubungan berkelanjutan dan ini sifatnya harus jelas, dan harus berakar dari masyarakat. “Kita mohon dukungan kepada warga ring satu untuk berjalannya program ini. Kalau pemberian kompensasi uang kan sifatnya sesaat tidak berkepanjangan. Dan yang kita berikan kompensasi berupa program pemberdayaan SDM jangka panjang,” tutupnya. Diketahui, terkait protes kelompok nelayan sampai mengeluhkan adanya kekeruhan air laut akibat proyek Pelindo, malah dijawab langsung oleh Bendesa Adat Tanjung Benoa, Made Wijaya, SE., saat saat rapat bersama Bendesa dan Prajuru Desa Adat Tanjung Benoa di Wantilan Desa Adat Tanjung Benoa, Kuta Selatan, Badung, Selasa sore (25/10/2022). Karena menurutnya proyek Pelindo sudah lama berjalan sebelum ada kelompok nelayan yang protes. Namun dia mengakui di wilayah Timur Tanjung Benoa pengusaha diving, snokling juga merasakan adanya air laut yang keruh. “Kami maklum keruhnya air laut karena ada hujan yang terus menerus, walaupun di dekat sana ada proyek dengan pembuangan lumpur, ya kami maklumi saja, yang kita pikirkan bagaimana caranya ke depan, karena hubungan kita yang sudah baik saling menjagalah, jangan membikin penyampian yang bisa merenggangkan hubungan kita. Dan saya pastikan Desa Adat Tanjung Benoa akan menjaga keamamanan, dan kenyamanan, jangan sampai terjadi segala sesuatu yang tidak diinginkan,” tegas Made Wijaya yang akrab disapa Yonda. Lebih lanjut Yonda menegaskan, dirinya yang menjabat menjadi Bandesa, tidak ingin dibilang tidak bisa mengayomi masyarakatnya maupun kelompok-kelompok yang ada di Desa Adat Tanjung Benoa.
Bahkan dirinya mengakui, di Desa Adat Tanjung Benoa sudah selama 10 tahun sudah dibantu oleh Pelindo melalui CSR. Ditambah lagi Pelindo pada Pelabuhan Benoa akan menjadi pelabuhan sentral kapal pesiar, sudah pastinya akan menciptakan lapangan kerja yang baru buat masyarakat Tanjung Benoa. “Saya harap masyarakat Desa Adat Tanjung Benoa bisa duduk bersama, jangan buat polemik, jangan membuat isu-isu miring lagi,” tegasnnya sambil menambahkan kami Desa Adat Benoa sebagai ring satu sudah jelas haknya kalau masalah tenaga kerja (di Pelindo, red) kalau perlu kami membuat MOU bersama, berapa tenaga kerja yang ditampung dari Serangan, Pesanggrahan, dan Tanjung,” tegasnya. Ditambahkannya, dengan adanya Surat Keberatan dari beberapa kelompok nelayan kepada Pelindo, akibat adanya kekeruhan di laut. Yonda sangat menyayangkan tindakan tersebut, menurutnya kekeruhan di laut sekitar wilayah Kelompok Nelayan Penyelam Tradisional Satu Napas belum tentu juga berasal dari proyek Pelindo, bisa saja akibat hujan yang terus menerus. Maka dari itu pihaknya mengadakan Rapat Klarifikasi, untuk bisa duduk bersama membicarakan permasalan sehingga ke depannya mempunyai solusi untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi. “Saya tidak ingin masyarakat beserta kelompok bertolak ukur dengan uang, lebih baik kita cari solusi jangka panjang, kan itu yang lebih beradab,” jelasnya.
Sebelumnya diketahui, Keluhan Kelompok Nelayan “Penyelam Tradisional Satu Napas” Tanjung Benoa yang mengungkapkan keberatannya terhadap mega proyek PT Pelindo Sub Regional Bali Nusra terkait pengerukan alur dan pemotongan karang untuk pengembangan Pelabuhan Benoa sebagai Bali Maritime Tourism Hub (BMTH) akhirnya kandas. Penyebabnya ternyata tidak sejalan dengan kebijakan Bendesa Adat Tanjung Benoa yang menerapkan kebijakan satu pintu. Keluhan Ketua Kelompok Nelayan “Penyelam Tradisional Satu Napas” Tanjung Benoa Abdul Latif menuntut hak kompensasi sebagai termasuk korban pun sia-sia. Namun apabila memang ada kebijakan Bendesa Adat dalam pengajuan proposal melalui satu pintu, hal itu tidak dipermasalahkan. Tetapi pihaknya tetap akan memperjuangkan haknya yang terampas. “Sejak pandemi banyk warga kami yang menggantungkan hidup dari hasil menyelam nembak ikan pada malam hari,” kata Abdul Latif, saat rapat bersama Bendesa dan Prajuru Desa Adat Tanjung Benoa di Wantilan Desa Adat Tanjung Benoa, Kuta Selatan, Badung, Selasa sore (25/10/2022).
Ia pun mengajak kalau ada warga lain selain pihaknya yang merasa dirugikan atas kegiatan tersebut, silahkan disampaikan. “Kami butuh makan setiap hari, masak mau nunggu bantuan sembako dari Pelindo yang setahun sekali?,” tanyanya. Untuk itu, wakil rakyat diharapkan memperhatikan betul aspirasi rakyat agar bisa menyambung hidup di tengah pengembangan Pelabuhan Benoa menuju Pelabuhan Internasional di Bali. Abdul Latif pun merasa heran, sampah pengerukan dibuang sekitar 1 mil, padahal dalam perjanjian rencana kerjanya dibuang sekitar 12 mil. Menyikapi hal tersebut, Bandesa Adat Tanjung Benoa, I Made Wijaya SE mengatakan, Desa Adat Tanjung Benoa yang menjadi ring satu, seharusnya Surat Keberatan dari Kelompok Nelayan tersebut harus terlebih dahulu harus masuk melalui Desa Adat. Hal tersebut untuk mencegah terjadinya adanya kepentingan pribadi mengatasnamakan kepentingan kelompok, yang imbasnya merugikan semua pihak.
Perlu diketahui, Kelompok Nelayan “Penyelam Tradisional Satu Napas” Tanjung Benoa kembali mengungkapkan keberatannya terhadap mega proyek PT Pelindo Sub Regional Bali Nusra terkait pengerukan alur dan pemotongan karang untuk pengembangan Pelabuhan Benoa sebagai Bali Maritime Tourism Hub (BMTH). Ketua Kelompok Nelayan “Penyelam Tradisional Satu Napas” Tanjung Benoa Abdul Latif menuntut hak sebagai termasuk korban dari pengerukan untuk pengembangan Pelabuhan Benoa. “Kami minta kompensasi, bukan bantuan karena selama pengerukan itu dilakukan air laut jadi kotor. Kami pun kesulitan mencari ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup,” kata Abdul Latif, saat rapat bersama Bendesa dan Prajuru Desa Adat Tanjung Benoa di Wantilan Desa Adat Tanjung Benoa, Kuta Selatan, Badung, Selasa sore (25/10/2022).
Pihaknya bersama kelompok nelayan lainnya yang diundang mengahadiri rapat dari Bendesa Adat Tanjung Benoa, I Made Wijaya yang menghadirkan Anggota DPRD Badung I Wayan Luwir Wiana, S.Sos., dengan Manajemen PT Pelindo Regional Bali Nusra terkait “Masalah keberatan dari salah satu Kelompok Nelayan yang ada di Tanjung Benoa kepada pihak Pelabuhan Indonesia (Pelindo). Abdul Latif mengaku adanya penurunan pendapatan sejak enam bulan lalu diperkirakan akibat dampak proyek tersebut. Kelompoknya melakukan protes sejak tiga bulan proyek itu sudah berjalan. Bisanya rata – rata penghasilan mencapai Rp 200 ribu, kini hanya Rp100 ribu. Mereka pun telah melakukan komukasi kepada pihak manajemen PT Pelindo Regional Bali Nusra agar segera mendapatkan penanganan.
Mengingat belum mendapatkan respon sesuai harapan Kelompok “Penyelam Tradisional Satu Nafas”, melayangkan surat keperihatinan kepada PT. Pelabuhan Indonesia (Persero) yang ditandatangani oleh Ketua Abdul Latif dan Sekretarisnya Badarudin beserta 38 orang anggotanya, pada Senin, 17 Oktober 2022. Mereka beranggotakan sebanyak 33 orang, namun pihaknya pun mengajak para nelayan yang merasakan dampak yang sama untuk melakukan protes kepada Pelindo. Menurut Abdul Latif, Pelindo III Pelabuhan Benoa ke depan juga akan mengerjakan proyek pengerukan serta pemotongan terumbu karang pada alur kapal dan kolam pelabuhan tahap 2 untuk akses rencana induk pelabuhan (RIP) menuju lahan proyek reklamasi yang sudah terbentuk pada damping 1 dan damping 2.
“Sehubungan dengan adanya pengerukan untuk yang kesekian kalinya di Teluk Benoa menimbulkan kekhawatiran kami atas pembangunan perluasan wilayah pelabuhan yang tentunya tidak dapat dihindari akan mempersempit keberadaan tempat-tempat ikan berkembang biak juga dapat merusak terumbu-terumbu karang yang butuh ratusan tahun untuk tumbuh dan berkembang,” ujarnya. Abdul Latif juga menyesalkan bahwa pihak pengembang tidak pernah mengajak pihaknya untuk berdialog sebagai masyarakat yang masih menggantungkan hidup dari keberlangsungan areal kawasan Teluk Benoa dan seyogyanya keberadaan kelompoknya yang sudah turun-temurun menjadi nelayan penyelam tradislonal tidak seharusnya di lupakan keberadaanya.
“Kami tidak pernah diajak untuk berdialog urun-rembuk sebelumnya dan tidak ada sosialisasi padahal kami adalah termasuk ring satu dan masyarakat bawah yang terdampak langsung dari setiap adanya kegiatan proyek di areal pelabuhan. kami memahami bahwa tuntutan kemajuan dan pariwisata membutuhkan fasilitas yang lebih baik,” jelasnya. Ia pun membeberkan sejumlah permasalahan yang saat ini mereka alami selaku Kelompok Nelayan Penyelam Tradisional yang merasa dirugikan yang mana Perairan Teluk Benoa merupakan sumber mata pencaharian utama bagi para Nelayan Tradisional khususnya Penyelam Penembak ikan yang sudah sejak lama mewarisi kearifan nenek moyang mereka dan masih dipertahankan hingga saat ini, hingga pihaknya melayangkan surat pengaduan yang berisi 5 poin, yakni:
1. Bahwa kami sangat merasakan dampak langsung dari kegiatan [pengurugan] tersebut, di antaranya tingkat kekeruhan air di sekitar Teluk Benoa beberapa bulan terakhir sangat mengkhawatirkan.
2. Menyulitkan kami untuk mengatur waktu dan lokasi penyelaman karena sedikitnya waktu tenggang untuk air jernih yang bisa bertahan di dalam Teluk Benoa.
3. Berdampak sangat signifikan kepada hasil tangkapan kami yang tentunya berakibat makin rendahnya daya Jual kami untuk menghidupi keluarga. Sebagaimana diketahui banyak dari masyarakat kami sejak pandemi beralih profesl menjadi nelayan, karena kehilangan pekerjaan atau dirumahkan
4. Adapun penghasilan kami sebelum adanya pengerukan dilakukan dengan kondisi air laut yang tidak keruh dan jemih berjumlah sebesar Rp200.000.- per hari.
5. Semenjak adanya pcngerukan yang membuat air menjadi sangat keruh pendapatan kami menurun antara 60% hingga 80%.
“Kami menuntut hak kami yang terampas, karena selama adanya kegiatan pengerukan air di sekitar Teluk Benoa menjadi keruh. Kami para penyelam tradisional yang terdampak langsung dari kegiatan tersebut. jadi kami bukan minta-minta seoerti yang di tafsirkan,” ujarnya. aya/ksm/ama
You must be logged in to post a comment Login