NEWS
Dugaan Kriminalisasi, Pemalsuan Surat dan Perbuatan Tidak Menyenangkan
Jakarta Jarrakpos.com – Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung (Jampidum), Fadil Zumhana bersama sejumlah oknum Jaksa di bidang Pidum akan dipolisikan atau dilaporkan, atas dugaan tindak kriminalisasi dan Perbuatan Tidak Menyenangkan, dan dugaan pemalsuan surat-surat.
Hal itu dilakukan oleh pihak keluarga korban dugaan kriminalisasi hukum selama 13 tahun, yakni seorang kakek berusia 80 tahun, Herman Djaya, dikarenakan mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari Jampidum Fadil Zumhana dan jajarannya, pada pertemuan yang digelar di Gedung Jampidum Kejaksaan Agung, pada Jumat, 09 Maret 2023 lalu.
Bambang Djaya, yang merupakan adik kandung Herman Djaya, yang ikut dalam pertemuan itu, mengaku mendapat perlakuan kasar, serta dimaki-maki oleh sejumlah oknum Jaksa di hadapan Jampidum Fadil Zumhana, dan para peserta pertemuan yang hadir.
“Kami dari pihak korban Herman Djaya, diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi. Dimarah-marahi, dimaki-maki, dan diancam oleh Jaksa, mau pun oleh Jampidum sendiri,” tutur Bambang Djaya, kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (18/03/2023).
Selain Jampidum Fadil Zumhana, lanjut Bambang Djaya, ada 4 orang Jaksa yang juga akan dilaporkan ke Polisi. Keempat Jaksa lainnya itu adalah Alviand Deswaldy, S.H., (Jaksa Pratama Utama), Deddy, S.H. M.H., (Jaksa Madya), Hevben, S.H., M.H., (Jaksa Muda) dan Drs. Joko Purwanto, S.H., (Jaksa Utama Muda) selaku Penuntut Umum.
“Kami mendapat perlakuan kriminalisasi hukum dari komplotan para Jaksa itu. Selain memaksakan laporan yang tidak jelas alias diduga bodong untuk P-21 atau Lengkap dengan korban Herman Djaya, mereka diduga telah berkomplotan dengan oknum Penyidik di Bareskrim Polri atas sejumlah dugaan tindak kriminalisasi kepada Herman Djaya, sejak tahun 2017 silam,” jelas Bambang Djaya.
Sedangkan pada pertemuan yang digelar di Gedung Jampidum Kejaksaan Agung, pada Jumat, 09 Maret 2023 lalu, dibeberkan Bambang Djaya, Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kejaksaan Agung (Jampidum), Fadil Zumhana, mengumpulkan pihak-pihak, seperti Azis Wellang yang merupakan Pelapor palsu, dan juga pihak Terlapor yakni Keluarga Herman Djaya dan kuasa hukumnya, di Ruang Rapat Jampidum Kejaksaan Agung.
“Di pertemuan itu, saya ikut. Dan kami malah dimarah-marahi Jaksa, karena protes dengan adanya berkas P-21 yang ditujukan kepada Herman Djaya. Lah, kami protes dong. Itu jalannya P-21 enggak benar. Tolong diperiksa semua data dan informasi, tolong dibuka juga laporan kami,” tutur Bambang Djaya.
Namun, kata dia, Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana, tidak mau tahu, dan tetap memaksakan bahwa proses P-21 itu sudah benar, dan akan dilanjutkan ke persidangan.
“Kami kok merasa aneh, sekelas Jampidum kok begitu. Tanpa mau menerima penjelasan dari pihak kami sebagai Terlapor. Dan juga laporan kami bahwa ada dugaan oknum Jaksa dan oknum Polisi yang berkolaborasi untuk mengkriminalisasi abang saya,” katanya.
“Jampidum ini kami nilai tidak memiliki hati nurani, dan malah turut melanggengkan pelanggaran serta dugaan kriminalisasi kepada Herman Djaya,” tutur Bambang Djaya lagi.
Padahal, lanjut Herman Djaya, pihaknya sudah menyerahkan semua informasi dan bukti-bukti yang dimiliki kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, Burhanuddin, dan juga kepada Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana.
“Semua informasi dan data serta bukti sudah kami lampirkan dan berikan kepada Bapak Jaksa Agung Burhanuddin, dan kepada Jampidum, sebelum pertemuan itu. Kami sudah lampirkan di Surat Permohonan Perlindungan Hukum kepada Jaksa Agung dan kepada Jampidum. Kok kami masih saja diabaikan kasar?” tutur Bambang Djaya lagi.
Karena itu, kata dia, pihaknya menduga, para oknum penyidik di Bareskrim Polri dengan para oknum Jaksa di Jampidum, termasuk Jampidum Fadil Zumhana sendiri, telah masuk angin, dan pasti akan memaksakan proses-proses hukum yang sudah berkategori kriminalisasi itu atas Herman Djaya.
“Kiranya Bapak Jaksa Agung Republik Indonesia, Bapak Burhanuddin, menghentikan aksi-aksi dan tindakan melanggar hukum atau dugaan kriminalisasi yang dilakukan oleh Jampidum Fadil Zumhana dan jajaran di bawahnya itu. Kami mohon Pak Jaksa Agung Burhanuddin, perhatikan dan lindungi kami para pencari keadilan yang dikriminalisasi,” tutur Bambang Djaya.
Bambang Djaya juga berharap, Kapolri Listyo Sigit Prabowo dan juga jajarannya Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto, Wakabareskrim Irjen Pol Asep Edi Suheri, Kadiv Propam Irjen Pol Syahardianto dan jajarannya, untuk menindak tegas oknum penyidik di Bareskrim Polri yang diduga sudah menjadi kaki tangan Azis Wellang melakukan dugaan kriminalisasi terhadap Herman Djaya.
“Kami juga berharap, Pak Kapolri Listyo Sigit, Pak Menkopolhukam Mahfud MD, dan seluruh masyarakat Indonesia, untuk bersama-sama bertindak menghentikan kriminalisasi hukum kepada abang saya Herman Djaya, dan kepada para pencari keadilan di mana pun berada,” pinta Bambang Djaya.
Sebelumnya, Bambang Djaya, yakni adik kandung Terlapor Herman Djaya, bersama Tim Kuasa Hukum Sofian Herianto Sianipar dan kawan-kawan dari MAR Lawfirm, yang datang ke pertemuan dengan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Fadil Zumhana dan jajarannya di Kantor Jampidum Kejaksaan Agung pada Kamis pagi (09/03/2023), mengaku kaget dengan sikap Jampidum Fadil Zumhana dan para Jaksa di ruang Rapat Jampidum itu.
Bambang Djaya mengatakan, Jampidum Fadil Zumhana memaki-maki wartawan yang memberitakan kebobrokan kinerja para oknum Jaksa yang menangani kasus Azis Wellang vs Herman Djaya.
Jadi, awal maki-maki dan mengancam kami dan wartawan itu, dibeberkan Bambang Djaya, pihak Terlapor yakni kakek berusia 80 tahun bernama Herman Djaya, diinformasikan secara informal atau tanpa ada surat resmi bahwa akan digelar pertemuan oleh Jaksa dengan para pihak di Ruangan Rapat Jampidum.
“Kami diinformasikan secara lisan, disuruh untuk wajib datang ke pertemuan di Jampidum pada Kamis pagi. Yang hadir adalah pihak Pelapor yakni Azis Wellang dengan timnya, dan kami dari pihak Terlapor atas nama Bapak Herman Djaya. Klien kami sudah sepuh dan sedang sakit, maka kami Kuasa Hukumnya yang datang menghadiri pertemuan itu,” ungkap Bambang Djaya.
“Mana… mana orangnya? Mana Si Wartawan yang nulis-nulis berita itu? (Menyebut nama seorang wartawan). Wartawan itu tidak ngerti dan tidak paham kinerja Jaksa. Kalian, jangan ngomong-ngomong ke wartawan. Gak ngerti itu. Begitu kira-kira ucapan Jampidum ketika kami baru masuk ke ruang rapat dan baru mau mulai pertemuan,” ungkap Bambang Djaya.
Mendengar Jampidum Fadil Zumhana mulai menyerang wartawan, seorang Jaksa lainnya merasa didukung oleh bosnya, Jampidum Fadil Zumhana, turut memberikan ancaman kepada pihak Herman Djaya dan wartawan yang memberitakan kejanggalan penanganan kasus Herman Djaya itu.
“Kalau enggak salah, nama Jaksa itu Narji Bakri kurang jelas. Dia bilang, jangan sebarkan dan jangan viralkan. Jangan bikin di Youtube, sebab saya bisa melaporkan dan mempidanakan dengan ancaman pidana 9 tahun penjara. Saya akan penjarakan kalian. Begitu kata Jaksa itu. Ya kami diam saja,” terang Bambang Djaya.
Bambang Djaya bersama Tim Kuasa Hukum Sofian Herianto Sianipar dan kawan-kawannya protes dengan pertemuan yang diduga dirancang untuk menekan kliennya agar menerima proses-proses yang sudah dilakukan Penyidik Mabes Polri dan Jaksa di Pidum Kejaksaan Agung.
“Kami tidak terima. Dan kami tidak setuju dengan cara-cara yang dilakukan Penyidik dan Jaksa. Sebab, banyak sekali kejanggalan dan pelanggaran prosedur mau pun substansi yang dilakukan oknum Penyidik dan oknum Jaksa dalam kasus yang dialami Pak Herman Djaya,” tegas Bambang Djaya.
“Agenda pertemuan ini pun kami tahu secara lisan. Klien kami pun tidak mendapat surat pemberitahuan resmi. Juga, kami pertanyakan agenda pertemuan ini untuk apa? Katanya untuk mengkonfrontir. Kok kami mau sampaikan sejumlah data dan fakta atau bukti-bukti dari klien kami pun tak boleh,” lanjut Bambang Djaya.
Bambang Djaya membeberkan, Herman Djaya dilaporkan oleh Pelapor bernama Azis Wellang di Bareskrim Polri pada tahun 2017 silam, atas dugaan pemalsuan surat.
Namun, obyek atau hal yang dilaporkan Azis Wellang itu tidak dapat dihadirkan. Sehingga Jaksa yang menangani laporan itu yakni Jaksa bernama Rauf, menyatakan kasus itu tidak bisa dilanjutkan. Dan sudah sebanyak 3 kali berkas P-19, akhirnya ditolak.
“Lalu pada bulan Januari 2023 lalu, kok tiba-tiba sudah langsung P-21 aja. Aneh proses ini,” ujarnya.
Kemudian, lanjut Bambang Djaya, abangnya Herman Djaya mendapat surat yang diduga bodong, yaitu surat dari Jaksa yang meminta kepada Penyidik Mabes Polri untuk melanjutkan kembali kasus atau laporan Azis Wellang tersebut.
Surat itu berupa surat abal-abal, tanpa tanggal, dan tanpa tanda tangan cap basah, dan tanpa pemberitahuan resmi.
Sedangkan Herman Djaya, lanjutnya, juga tidak pernah dinyatakan secara resmi sebagai Tersangka. Juga tidak ada pemberitahuan, serta mendadak dipaksakan P-21 untuk ditangkap dan diserahkan tahap 2 atau pelimpahan.
Semua kejanggalan itu, menurut Bambang Djaya, sangat terang terjadi sebagai bentuk perbuatan melanggar hukum dan Undang-Undang, yang dipaksakan oleh Jampidum Fadil Zumhana bersama sejumlah oknum Jaksanya.
“Surat itu tidak ada tanggalnya, tidak ada kop surat Kejaksaan, tidak ada tanda tangan atau stempel basah, yang ada adalah nama-nama sejumlah Jaksa yang tertera di surat tersebut,” ungkapnya.
Bambang Djaya menambahkan, selain akan melaporkan atas kriminalisasi dan perbuatan tidak menyenangkan, Jampidum Fadil Zumhana bersama para oknum Jaksanya juga akan dilaporkan melakukan dugaan pemalsuan surat, yaitu Surat Sprindik dan P-21.
“Sebab, surat-surat itu kami anggap adalah palsu dan di luar aturan maupun Undang-Undang yang berlaku,” ujar Bambang Djaya.
Nah, kata dia, keanehan-keanehan proses itu yang diberitakan wartawan. Dan meminta kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, ST Burhanuddin, untuk melakukan proses kepada para Jaksanya agar tidak menuntut orang yang tidak bersalah yakni Herman Djaya, atas laporan tidak jelas dari seseorang yang bernama Azis Wellang.
“Nah malah kami dan wartawan yang memberitakan peristiwa ini yang dimaki-maki dan diancam-ancam oleh Jaksa. Kami di dalam rapat itu, pesertanya adalah puluhan Jaksa, ada Jampidum Fadil Zumhana, kemudian Si Pelapor Azis Wellang, dan kami serta tim kuasa dari Pak Herman Djaya,” tutur Bambang Djaya.
Dalam pertemuan itu, lanjut Bambang Djaya, sangat jelas sekali keberpihakan Jampidum Fadil Zumhana hendak melindungi para oknum Jaksa, yakni untuk melindungi kesalahan-kesalahan yang telah terjadi dan yang dilakukan oleh para oknum Jaksa itu.
“Katanya, P-21 itu sudah kuat dan sudah jelas. Jaksa tidak pernah salah dalam hal ini, dan Jaksa tidak pernah melakukan persuratan ilegal,” sebut Bambang Djaya.
“Padahal, kami hendak sampaikan beberapa bukti kuat dan fakta-fakta, malah dilarang, enggak boleh disampaikan di pertemuan. Lah, lalu untuk apa pertemuan itu? Kalau sudah settingan mereka semua? Masa kami diundang, lalu kami tak boleh sampaikan fakta-fakta dan bukti-bukti kesalahan yang dilakukan oknum penyidik dan oknum jaksa dalam menangani kasus ini? Aneh,” jelas Bambang Djaya lagi.
Karena itu, jika sekelas Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum), Fadil Zumhana, pun sudah tidak bisa membuat clear dan jelas persoalan, maka masyarakat pencari keadilan seperti kepada Herman Djaya, pasti akan terus-terusan jadi korban.
“Urusan ini sudah 13 tahun, enggak selesai-selesai. Persoalan jual beli tanah, yang korbannya adalah abang saya Herman Djaya, malah dilapor ke Bareskrim jadi Pidana. Sayangnya, Jaksa pun mengiyakan bahwa ini Pidana. Kalau begini caranya, sampai kapan pun masyarakat tak kan percaya dengan Polisi dan Jaksa,” tegas Bambang Djaya.
Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum), Fadil Zumhana, mengaku dilapori oleh anak buahnya bahwa laporan itu sudah valid dan sudah sesuai prosedur.
Padahal, kepada Jaksa Agung Burhanuddin dan kepada Jampidum Fadil Zumhana, sudah dimohonkan juga Surat Perlindungan Hukum oleh kakek Herman Djaya. Lengkap dengan sejumlah informasi dan fakta-fakta mau pun bukti-bukti, bahwa dirinya tidak pernah melakukan pidana seperti yang dilaporkan.
“Dia itu residivis, pernah dihukum percobaan atas laporan yang sama. Saya sudah mengecek semuanya. Jangan bela-bela,” ujar Jampidum Fadil Zumhana.
Atas pernyataan Jampidum Fadil Zumhana itu, Kuasa Hukum Herman Djaya, Sofian Herianto Sianipar mengatakan, bahwa kliennya Herman Djaya tidak pernah melakukan pidana. Bahkan laporan yang mencoba menjerat Herman Djaya pada waktu itu, sudah di-SP3.
“Itu sudah SP-3 waktu itu,” katanya.
“Itulah dugaan kriminalisasi yang sudah dialami oleh klien saya sejak awal. Pak Herman Djaya dipidanakan dengan hukuman percobaan. Yang pada waktu itu, belum kami kuasa hukumnya, dalam persidangan menurut Pak Herman Djaya, dirinya tidak pernah dimintai keterangan oleh Jaksa dan tidak pernah dihadirkan untuk menyampaikan pembelaan, bahkan di persidangan pun, Herman Djaya tidak diperbolehkan bersaksi dan bersidang. Lalu, dipaksakan ketuk palu, divonis hukuman percobaan. Apakah ini yang disebut keadilan? Ini kriminalisasi hukum Pak,” terang Sofian Sianipar.
Sedangkan terkait adanya Kesepakatan Bersama Ketua MA, Menkumham, Jaksa Agung dan Kapolri, mengenai kasus yang sudah 3 kali ditolak, harus dihentikan, Jampidum Fadil Zumhana bersikukuh bahwa hal itu tidak berlaku, dan tidak pernah ada.
“Itu enggak ada. Enggak berlaku itu. Enggak ada itu,” ujar Fadil Zumhana.
Karena itu, Sofian Herianto Sianipar menegaskan, adanya Peraturan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung (MA), Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kapolri, yang menjelaskan bahwa jika sampai 3 kali ada berkas P-19, maka kasus itu harus dihentikan.
Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung (MA), Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kapolri itu adalah Nomor 099/KMA/SKB/2010, Nomor: M.HH-35.UM.03.01 TAHUN 2010, Nomor: Kep-059/A/JA/05/2010, dan Nomor: B/14/V/2010, tentang Sinkronisasi Ketatalaksanaan Sistem Peradilan Pidana Dalam Mewujudkan Penegakan Hukum Yang Berkeadilan.
“Di dalam pertemuan itu, kami sudah menyampaikan apa saja yang menjadi alasan hukum untuk meminta kepada Jampidum perkara klien kami ditinjau ulang tahapan P-21-nya, namun Jampidum menyampaikan bahwa sudah tidak ada upaya itu karena berkas sudah Lengkap. Silakan nanti disampaikan di Pengadilan apa yang menjadi keberatan. Demikian dikatakan Jampidum dalam pertemuan itu,” tutur Sofian Herianto Sianipar.
Sofian Herianto Sianipar juga menegaskan, proses P-21 yang dinyatakan Jaksa kepada kliennya Herman Djaya, ternyata tidak terpenuhi unsur-unsurnya.
“Kami mempertanyakan upaya P-21 itu. Karena dalam perjalanan, P-19 terjadi perubahan poin-poin Petunjuk yang harus dilengkapi oleh Penyidik. Misalnya, Petunjuk dalam P-19 pertama tidak terpenuhi, kok kemudian diubah petunjuknya. Apakah hal tersebut sesuai dengan SOP atau tidak?” ujarnya.
“Kemudian, ada peristiwa hukum dilakukan P-19 sebanyak 3 kali. Yang mana, berdasarkan Surat Keputusan Bersama atau SKB antara Ketua Mahkamah Agung, Menkumham, Jaksa Agung dan Kapolri, perkara tersebut tidak layak untuk dilanjutkan. Atau, segera harus dihentikan,” tandas Sofian Herianto Sianipar.
Sedangkan perbuatan melanggar prosedur dan hukum lainnya yang diduga dilakukan oleh oknum Jaksa adalah, terkait laporan Herman Djaya di Polres Jakarta Pusat pada tahun 2016 silam. Yang mana pada waktu itu, berkas laporannya sudah dinyatakan lengkap atau P-21 oleh pihak Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus).
Azis Wellang Pernah Dilaporkan di Polres Jakpus dan Berkas Sudah P-21 di Kejari Jakpus, Kok Bebas?
Sebelumnya, kakek Herman Djaya, mengaku mengalami kriminalisasi mafia hukum dan mafia tanah. Herman Djaya berhadapan dengan terduga mafia hukum dan mafia tanah, Muhammad Andi Azis Wellang alias Andi Azis Wellang alias Azis Wellang.
Herman Djaya yang kini berusia 80 tahun itu, mengungkapkan, sudah 13 tahun ini dirinya dikriminalisasi oleh Azis Wellang melalui praktik-praktik mafia hukum dan mafia tanah yang berkolaborasi dengan oknum Polisi dan oknum Jaksa, oknum petugas BPN bahkan hingga oknum Hakim Agung di Mahkamah Agung.
“Saya pernah melaporkan Azis Wellang ke Polres Jakarta Pusat pada tahun 2016. Tentang Pasal 372 dan Pasal 378 KUHP. Dan kemudian berkasnya dinyatakan lengkap atau P-21 di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Namun aneh, kok sampai sekarang di tahun 2023 ini, Azis Wellang malah lepas dan bebas berkeliaran?” ungkap Herman Djaya kepada wartawan, Sabtu (04/03/2023) lalu.
Herman Djaya sangat menyayangkan kinerja oknum penyidik Kepolisian dan oknum Jaksa yang malah diduga berkolaborasi dengan Azis Wellang untuk mengkriminalisasi dirinya.
“Sebab, giliran laporan bodong, atau laporan tak berdasar mengenai dugaan pemalsuan surat yang dilakukan Azis Wellang di Bareskrim Polri pada tahun 2017 silam, malah ditindaklanjuti, dan kini saya ditetapkan tanpa bukti sebagai Tersangka. Berkasnya katanya sudah lengkap atau P-21 di tangan Jaksa. Aneh sekali mereka ini,” tutur Herman Djaya.
Herman Djaya membandingkan, laporannya terhadap Azis Wellang di Polres Jakarta Pusat pada tahun 2016 silam adalah mengenai Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sudah sempat sampai berkasnya dinyatakan lengkap atau P-21 oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus).
Pasal 372 KUHP berbunyi : Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun.
Sedangkan ketentuan Pasal 378 KUHP menerangkan bahwa, yang dimaksud dengan penipuan adalah kondisi yang dilakukan oleh siapa pun dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dan orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, atau pun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
“Berkasnya sudah P-21 di Kejari Jakarta Pusat. Tapi sampai kini lepas dan tidak ada tindak lanjut. Azis Wellang tetap bebas melenggang,” ujar Herman Djaya.
Sedangkan laporan Azis Wellang kepada Herman Djaya pada tahun 2017 silam di Bareskrim Polri, kok malah dinyatakan lengkap atau P-21?
“Saya melaporkan Azis Wellang dan kaki tangannya yang bernama RD Arief B Perlambang alias Buce Perlambang pada tahun 2016 silam di Polres Jakarta Pusat. Dengan pasal 372 dan pasal 378 KUHP. Mereka bersekongkol menipu dan menggelapkan uang saya, untuk pembelian tanah di Kebon Kosong, Tanah Abang, Jakarta Pusat,” terang Herman Djaya.
“Karena itu, sekarang, saya memohon kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, Bapak Burhanuddin, agar memberikan perlindungan hukum kepada saya, dan juga agar saya diberikan bantuan hukum dan penyelesaian persoalan saya yang sudah berlarut-larut hingga 13 tahun ini,” terang Herman Djaya lagi.
Herman Djaya, seorang kakek berusia 80 tahun, meminta perlindungan hukum kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, ST Burhanuddin.
Herman Djaya yang kelahiran 10 Maret 1944 di Banyuwangi, Jawa Timur, mengaku, dirinya sudah 13 tahun ini mengalami kriminalisasi hukum dari oknum penyidik Polisi hingga oknum Jaksa, bahkan oknum Hakim Agung di Mahkamah Agung.
Diungkapkan Herman Djaya, pada 26 Januari 2023, dirinya tiba-tiba saya menerima Surat P-21 sehubungan dengan adanya laporan seseorang bernama Muhammad Andi Azis Wellang di Bareskrim Polri pada tahun 2017 silam.
Juga ada surat yang disebut sebagai inisiatif Jaksa yang meminta kepada Penyidik Bareskrim Polri akan melanjutkan penanganan laporan itu, dan akan membuat P-21.
Surat yang berisi melanjutkan permintaan Jaksa untuk penanganan laporan Azis Wellang itu, menurut Herman Djaya, diduga adalah palsu atau bodong, yang ditandatangani oleh Jaksa Penuntut Umum antara lain Alviand Deswaldy, S.H., (Jaksa Pratama Utama), Deddy, S.H. M.H., (Jaksa Madya), Hevben, S.H., M.H., (Jaksa Muda) dan Drs. Joko Purwanto, S.H., (Jaksa Utama Muda) selaku Penuntut Umum.
“Suratnya menurut saya tidak tepat, sebab tidak memiliki keabsahan legalitas dari institusi Kejaksaan, tidak ada tanggal surat, tidak pakai kop surat, dan tidak ditandatangani dengan cap basah resmi pimpinan Kejaksaan Agung,” tutur Herman Djaya kepada wartawan, di Jakarta, Sabtu (04/03/2023).
Padahal, diungkapkan Herman Djaya, laporan dugaan pemalsuan yang dilakukan oleh seseorang bernama Muhammad Andi Azis Wellang di Bareskrim Polri pada tahun 2017 itu, seharusnya sudah selesai.
Sebab, dalam laporan tersebut, seseorang yang bernama RD Arief B Perlambang alias Buce Perlambang, yang diketahui juga sebagai kaki tangan Azis Wellang, yang dilaporkan dan dipidanakan atas dugaan pemalsuan sertifikat tanah di Tanah Abang, Jakarta Pusat.
“Terakhir kali saya dimintai keterangan atas laporan itu adalah pada tahun 2017 silam itu. Dan waktu itu, saya menjelaskan, saya tidak melakukan pemalsuan, dan saya tidak ada sangkut pautnya dengan laporan itu. Semua sudah dibuktikan di Pengadilan. Dan Buce, yakni orang suruhan Azis Wellang sendiri yang masuk penjara waktu itu,” tutur Herman Djaya.
Berdasarkan Surat Laporan di Bareskrim, Herman Djaya dilaporkan oleh seseorang bernama Azis Welang dengan laporan BARESKRIM No.B/292/SUBDIT-I/XIII/2017/Dittipidum, tanggal 08-12-2017.
Yang menjadi Penyidik yang menindaklanjuti laporan Azis Wellang ini adalah Iptu Azis Riyanto ,S.H., M.H., dan Ipda Iwan Santoso, S. H.
“Saya menolak jika dituduh melakukan pemalsuan. Dan saya tidak terlibat atas laporan yang ditujukan kepada saya. Dan bahwa sudah ada pengakuan orang yang melakukan seperti laporan tersebut adalah seseorang bernama RD Arief B Perlambang alias Buce Perlambang,” beber Herman Djaya.
Kemudian, lanjutnya, waktu itu Jaksa yang menangani laporan itu adalah Jaksa bernama Rauf, yang diketahui saat ini sudah dipindah ke bagian Pidana Militer di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Pada saat itu, lanjut Herman Djaya, Jaksa Rauf pun sudah tiga kali mengembalikan berkas P-19 ke Bareskrim Polri, karena berkas itu dianggap tidak layak untuk diteruskan.
“Pak Rauf yang jadi Jaksa waktu itu, sudah 3 kali mengembalikan berkas ke Penyidik. Katanya, berkas itu tak layak menjadikan saya sebagai Tersangka, dan tak bisa dilanjutkan. Harusnya dihentikan oleh Penyidik, atau di-SP3. Sebab, menurut Jaksa Rauf, laporan Azis Wellang itu tidak jelas objeknya, dan tidak ada bukti objek yang dilaporkan,” tutur Herman Djaya.
Namun, kata dia lagi, sepertinya Azis Wellang dan kaki tangannya tidak berhenti untuk mempersoalkan Herman Djaya, dan terus-terusan mengupayakan kriminalisasi hukum kepada dirinya.
“Sejak tahun 2010 silam, saya terus-terusan dikriminalisasi oleh Azis Wellang melalui para oknum penyidik dan oknum Jaksa, oknum BPN, bahkan sampai ke Mahkamah Agung,” lanjutnya.
Herman Djaya juga memastikan, semua urusan kepemilikan jual beli tanah yang dipersoalkan Azis Wellang di Tanah Abang, Jakarta Pusat itu, sudah diuji dan diadili mulai Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (PT DKI), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bahkan hingga ke Mahkamah Agung (MA), dengan putusan kasasi pertama, yang menyatakan Herman Djaya adalah pemilik sah dari tanah tersebut.
Kemudian, lanjutnya, pihak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), sudah memerintahkan jajarannya agar segera mengubah kepemilikan tanah itu menjadi milik Herman Djaya.
“Bagaimana mungkin semua putusan dari Pengadilan itu palsu? Itu putusan pengadilan, putusan Negara loh. Namun, sayangnya, oknum di BPN Jakarta Pusat, tak kunjung melaksanakan eksekusi putusan-putusan itu. Sepertinya mereka menunggu arahan Azis Wellang saja,” tutur Herman Djaya.
Herman Djaya yang merupakan warga Jakarta yang tinggal di Jalan Pulo Mas VI C/10, RT 008/RW 01, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur, mengaku sedih dengan perlakuan para oknum Aparat Penegak Hukum (APH) kepada dirinya selama 13 tahun ini.
“Saya kurang tahu motivasi mereka. Apakah mau memeras saya? Apakah mau mengintimidasi saya? Apakah mau mengancam saya dengan cara-cara yang sangat jauh dari keadilan itu?” ujarnya.
Maka, lanjutnya, ketika dirinya menerima Surat P-21 yang ditandatangani oleh Jaksa Penuntut Umum antara lain Alviand Deswaldy, S.H., (Jaksa Pratama Utama), Deddy, S.H. M.H., (Jaksa Madya), Hevben, S.H., M.H., (Jaksa Muda) dan Drs Joko Purwanto, S.H., (Jaksa Utama Muda) selaku Penuntut Umum, sungguh membuat dirinya kaget.
“Saya tidak pernah dikomunikasikan dan tak pernah dimintai keterangan lagi sejak tahun 2017 silam. Kok bisa tiba-tiba ada Surat P-21 kepada saya? Saya kok terus-terusan dikriminalisasi?” ujar Herman Djaya lagi.
“Saya sudah memasuki usia 80 tahun sekarang. Saya sudah tua. Jangan saya diperlakukan seperti ini. Saya jangan dikriminalisasi,” ujarnya lagi.
Herman Djaya yang merasa dikriminalisasi sejak awal adanya perkara ini memohon kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, ST Burhanuddin, agar kiranya diberikan perlindungan hukum, dan diberikan keadilan serta hak-haknya sebagai Warga Negara Republik Indonesia yang menjadi korban dugaan kriminalisasi selama ini.
“Saya memohon Perlindungan Hukum kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, Bapak ST Burhanuddin. Dan saya juga berniat baik, mohon saya dapat dibantu dalam penyelesaian perkara ini yang sudah berlarut-larut selama 13 tahun tidak kunjung selesai,” pinta Herman Djaya.
Sedangkan Bambang Djaya, adik kandung Herman Djaya, sebagai juru bicara pihak keluarga, menambahkan, selain akan membuat laporan ke polisi, pihaknya juga akan melaporkan Jampidum Fadil Zumhana langsung ke Jaksa Agung Burhanuddin, juga ke Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas), ke Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, ke Menkopolhukam Mahfud MD, ke Komisi III DPR RI, dan kepada Presiden Joko Widodo.
“Kami akan melaporkan ke semua pihak, termasuk ke Pak Mahfud MD, ke Istana Negara Presiden Jokowi, dan kepada Komisi III DPR,” tandas Bambang Djaya.
Hingga berita ini diturunkan, belum mendapat respon dari pihak-pihak seperti Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan dari Menkopolhukam Mahfud MD. (Jum)
You must be logged in to post a comment Login