NEWS
Korban Maladministrasi Proyek Reklamasi di Pelabuhan Benoa Tunggu “Janji Manis” Pelindo
Denpasar, JARRAKPOS.com – Dugaaan maladministrasi proyek reklamasi di Pelabuhan Benoa nampaknya akan berbuntut panjang. Setelah Ombudsman RI Perwakilan Bali (ORI Bali) meminta segera melapor, kini pihak yang merasa menjadi korban maladministrasi tersebut angkat bicara. Mega proyek yang digarap oleh PT Pelindo Sub Regional Bali dan Nusra itu, disinyalir telah menyebabkan dampak negatif bagi lingkungan, seperti halnya kerusakan terumbu karang dalam jangka panjang. Hal itu, disampaikan kelompok nelayan yang merasa telah kehilangan mata pencaharian, karena tempat habitat hidupannya ikan telah dirusak. Seperti diungkapkan Ketua Kelompok Nelayan Penyelam Satu Nafas, Abdul Latif mengaku adanya penurunan pendapatan sejak enam bulan lalu yang diperkirakan akibat dampak proyek tersebut, sehingga kelompoknya melakukan protes sejak tiga bulan proyek berjalan. “Bisanya rata – rata penghasilan mencapai Rp 200 ribu, kini hanya Rp100 ribu,” katanya belum lama ini, seraya mengaku akibat Imbas tersebut membuat kelompok nelayan di Tanjung Benoa, Kuta Selatan, Badung ini kebingungan, sehingga tidak tahu harus melapor ke mana.
Ketika dikonfirmasi, Abdul Latif mengaku sementara ini keluhan kelompok nelayan kepada pihak Pelindo sudah difasilitasi oleh Bandesa Adat Tanjung Benoa melalui pertemuan di Wantilan Desa Tanjung Benoa. Pertemuan itu, juga dihadiri pihak Pelindo, beserta tokoh-tokoh adat, termasuk I Made Wijaya selaku Bendesa Adat Tanjung Benoa, sekaligus sebagai Anggota DPRD Badung, dan i Wayan Luwir Wiana yang juga Anggota Komisi III DPRD Badung. “Dalam pertemuan beberapa waktu lalu, keluhan kami sementara ini sudah ditampung oleh Pak Bendesa Adat Tanjung Benoa, dan dalam pertemuan tersebut juga sudah ada kesanggupan dari pihak Pelindo untuk membantu nelayan yang terkena dampak langsung dari proyek tersebut,” ungkapnya di Tanjung Benoa, pada Kamis (8/12/2022), seraya menegaskan, saat ini Kelompok Nelayan Satu Nafas masih menunggu realisasi dari apa yang dijanjikan pihak Pelindo. Bahkan pihaknya memilih bersabar menunggu “janji manis” Pelindo, meskipun sudah kena imbas dari efek dari proyek reklamasi, namun tetap menempuh jalan kekeluargaan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Padahal kelompok nelayan ini, sangat mengeluhkan adanya kekeruhan air laut yang diduga efek pembangunan proyek reklamasi di Pelabuhan Benoa. “Sekarang imbasnya kelompok nelayan tidak bisa melakukan aktifitas bekerja,” terangnya.
“Saat ini kami nelayan penyelam masih menunggu realisasi dari apa yang telah dijanjikan sebagai tindak lanjut dari proposal yang kami ajukan. Intinya kami sementara ini lebih memilih jalan kekeluargaan yang disarankan oleh bapak bendesa adat,” imbuhnya, sembari menegaskan, jika tidak mendapatkan realisasi yang dijanjikan Pelindo, maka pihaknya akan berupaya mencari atau meminta bantuan dari pihak yang kiranya bisa membantu kelompok nelayan. “Kami sebenarnya berharap Pelindo memahami situasi yang kami hadapi. Semoga saja keluhan kami bisa didengar oleh yang berwenang (Pelindo, red) dalam hal ini, dan semoga proyek di sekitar Pelabuhan Benoa cepat selesai, agar kami kami yang berprofesi sebagai nelayan penyelam tradisional dapat beraktivitas secara normal kembali,” harapnya. Seperti diketahui, lebih dari 1 bulan ini, Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Bali (ORI Bali) masih menunggu laporan dugaan maladministrasi mega proyek lahan reklamasi di Pelabuhan Benoa, Denpasar Selatan, Denpasar – Bali yang disinyalir dilakukan oleh PT Pelindo Sub Regional Bali dan Nusra. Kepala ORI Bali, Ni Nyoman Sri Widhiyanti, saat dikonfirmasi, pada Rabu (7/11/2022) mengakui Kelompok Nelayan Penyelam Tradisional Satu Napas belum ada menyampaikan pengaduan ataupun keluhannya ke Kantor ORI Bali terkait proyek di Pelabuhan Benoa. Padahal sebelumnya, baik pihak dari ORI Bali, termasuk jajaran DPRD Provinsi Bali meminta pengaduan disampaikan secara langsung.
“Belum ada laporan ke kami terkait hal tersebut. Belum ada laporan ke Ombudsman. Kalau laporannya sudah dilaporkan ke DPRD nggih diselesaikan. Jika sudah melapor ke Pelindo kemudian tidak ditanggapi, sekiranya melaporkan ke kami,” paparnya. Pihaknya menyampaikan sebenarnya proses pengaduan masyarakat tersebut, saat ini tidak perlu dilakukan secara langsung ke Kantor ORI Bali. Diungkapkan pengaduan apapun bisa dilayani dan ditindaklanjuti melalui pengaduan online lewat pesan WhatsApp (WA) resmi ORI Bali. “Jika masyarakat merasa tidak bisa melapor secara langsung, silakan bisa melalui WA kami +62 811-1303-737,” paparnya, seraya mengatakan jika pengaduan tersebut sudah dikirim, maka ORI Bali akan segera menindaklanjuti laporan pengaduan itu untuk dilakukan verifikasi. “Kami verifikasi dulu syarat formil dan materiilnya,” katanya. Perlu diketahui, pengaduan/ penyampaian fakta yang diselesaikan atau ditindaklanjuti oleh tertulis/ lisan oleh setiap orang yang telah menjadi korban Maladministrasi, maka laporan itu harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil. Syarat formil berupa identitas pelapor; surat kuasa (jika dikuasakan kepada pihak lain); memuat uraian peristiwa, kronologi, dan dokumen pelengkap lainnya; sudah menyampaikan laporan secara langsung kepada terlapor/ atasannya tetapi penyelesaian semestinya; dan peristiwa, tindakan, atau keputusan yang dilaporkan belum lewat 2 tahun sejak keputusan yang bersangkutan terjadi.
Sedangkan syarat materiil, berupa substansi laporan tidak sedang dan telah menjadi objek pemeriksaan tersebut menyangkut tindakan maladministrasi dalam proses; laporan tidak sedang dalam proses penyelesaian oleh instansi yang Ombudsman, proses penyelesaiannya masih dalam tenggang waktu; pelapor belum memperoleh penyelesaian dari instpnsi yang dilaporkan; substansi yang dilaporkan sesuai dengan ruang lingkup kewenangan; dan substansi yang dilaporkan tidak sedang dan/ atau telah ditindaklanjuti. Sebelumnya diketahui, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Bali (ORI Bali), Ni Nyoman Sri Widhiyanti mendesak Kelompok Nelayan Penyelam Tradisional Satu Napas agar melaporkan Ombudsman jika keluhannya tidak tanggapi Pelindo Regional Bali Nusra. Apalagi sebelumnya, kelompok nelayan sudah menyampaikan keluhannya ke PT. Pelindo baik lewat surat atau datang langsung menanyakan rencana pembangunan mega proyek Pelindo yang telah mendapatkan bantuan negara yang didapat melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar 1,2 T untuk mendukung pembangunan BMTH khususnya pengerukan alur dan kolam pelabuhan.
“Jika tidak ditanggapi pengaduannya, maka bisa dilaporkan ke Ombudsman, setelah keluhannya ke PT Pelindo baik lewat surat atau datang langsung menanyakan,” kata Sri Widhiyanti di Denpasar, Senin (31/10/2022). Upaya itu dilaksanakan agar bisa dilakukan tindak lanjut oleh Ombudsman baik berupa klarifikasi atau bisa juga dilakukan konsiliasi/ mediasi. Untuk itu, seharusnya dalam setiap rencana pembangunan harus ada sosialisasi kepada masyarakat, terutama masyarakat di sekitar lokasi proyek. Langkah itu dilakukan dalam mencegah konflik atau antisipasi dampak dari pembangunan yang dilaksanakan, apalagi hal itu yang menyangkut publik. “Sudah berapa lama tidak ditanggapi? Kalau sudah lebih 14 hari tidak ditanggapi bisa dilaporkan ke Ombudsman,” tegasnya. Sebelumnya, memang Bandesa Adat Tanjung Benoa, I Made Wijaya, SE alias Yonda menggelar menggelar rapat klarifikasi di Wantilan Desa Adat Tanjung Benoa pada Rabu Sore (24/10/2022). Dimana sebelumnya Kelompok Nelayan tersebut mengeluhkan adanya kekeruhan di laut yang diduga efek pembangunan mega proyek Pelindo, yang imbasnya kelompok nelayan tersebut tidak bisa melakukan aktifitas bekerja. Rapat Klarifikasi tersebut juga dihadiri oleh managemen Pelindo Bali Nusra dan Anggota DPRD Badung, I Wayan Luwir S.Sos.
Ketua Kelompok Nelayan “Penyelam Tradisional Satu Napas” Tanjung Benoa Abdul Latif mengkhawatirkan merusak habitat ikan dan terumbu karang. Oleh karena, dampak pengerukan karang tersebut, air laut menjadi putek (keruh) warna putih. “Anak saya saja tadi malam menyelam cari ikan kesulitan karena air keruh itu,” kata Abdul Latif di Badung, Kamis (27/10/2022). Menurutnya, kerusakan terumbu karang itu bisa berdampak jangka panjang. Nelayan akan kehilangan mata pencaharian, karena tempat habitat ikan rusak. Abdul Latif mengaku adanya penurunan pendapatan sejak enam bulan lalu diperkirakan akibat dampak proyek tersebut. Kelompoknya melakukan protes sejak tiga bulan proyek itu sudah berjalan. Bisanya rata – rata penghasilan mencapai Rp 200 ribu, kini hanya Rp100 ribu.
Mereka pun telah melakukan komukasi kepada pihak manajemen PT Pelindo Regional Bali Nusra agar segera mendapatkan penanganan, bahkan sudah menemui Kepala Proyek pembangunan tersebut. “Dalam komunikasi kami dengan mereka, memang benar ada melakukan pengeboran karang, dikatakan dilakukan pengeboran karena karangnya keras,” ungkapnya. Mengingat belum mendapatkan respon sesuai harapan Kelompok “Penyelam Tradisional Satu Nafas”, melayangkan surat keperihatinan kepada PT. Pelabuhan Indonesia (Persero) yang ditandatangani oleh Ketua Abdul Latif dan Sekretarisnya Badarudin beserta 38 orang anggotanya, pada Senin, 17 Oktober 2022.
Mereka beranggotakan sebanyak 33 orang, namun pihaknya pun mengajak para nelayan yang merasakan dampak yang sama untuk melakukan protes kepada Pelindo. Pihaknya sangat proaktif menanyakan proses pembangunan Pelindo yang berdampak langsung terhadap tempat mereka menangkap ikan. Namun, Pelindo memang tidak ada melakukan sosialisasi terhadap kelompoknya. Kelompok Nelayan “Penyelam Tradisional Satu Napas” Tanjung Benoa merupakan salah satu kelompok nelayan dari sekitar 10 kelompok di daerah Tanjung Benoa. “Sehubungan dengan adanya pengerukan untuk yang kesekian kalinya di Teluk Benoa menimbulkan kekhawatiran kami atas pembangunan perluasan wilayah pelabuhan yang tentunya tidak dapat dihindari akan mempersempit keberadaan tempat-tempat ikan berkembang biak juga dapat merusak terumbu-terumbu karang yang butuh ratusan tahun untuk tumbuh dan berkembang,” ujarnya.
Abdul Latif juga menyesalkan bahwa pihak pengembang tidak pernah mengajak pihaknya untuk berdialog sebagai masyarakat yang masih menggantungkan hidup dari keberlangsungan areal kawasan Teluk Benoa dan seyogyanya keberadaan kelompoknya yang sudah turun-temurun menjadi nelayan penyelam tradislonal tidak seharusnya di lupakan keberadaanya. “Kami tidak pernah diajak untuk berdialog urun-rembuk sebelumnya dan tidak ada sosialisasi padahal kami adalah termasuk ring satu dan masyarakat bawah yang terdampak langsung dari setiap adanya kegiatan proyek di areal pelabuhan. kami memahami bahwa tuntutan kemajuan dan pariwisata membutuhkan fasilitas yang lebih baik,” jelasnya. Ia pun membeberkan sejumlah permasalahan yang saat ini mereka alami selaku Kelompok Nelayan Penyelam Tradisional yang merasa dirugikan yang mana Perairan Teluk Benoa merupakan sumber mata pencaharian utama bagi para Nelayan Tradisional khususnya Penyelam Penembak ikan yang sudah sejak lama mewarisi kearifan nenek moyang mereka dan masih dipertahankan hingga saat ini, hingga pihaknya melayangkan surat pengaduan yang berisi 5 poin, yakni:
1. Bahwa kami sangat merasakan dampak langsung dari kegiatan [pengurugan] tersebut, di antaranya tingkat kekeruhan air di sekitar Teluk Benoa beberapa bulan terakhir sangat mengkhawatirkan.
2. Menyulitkan kami untuk mengatur waktu dan lokasi penyelaman karena sedikitnya waktu tenggang untuk air jernih yang bisa bertahan di dalam Teluk Benoa.
3. Berdampak sangat signifikan kepada hasil tangkapan kami yang tentunya berakibat makin rendahnya daya Jual kami untuk menghidupi keluarga. Sebagaimana diketahui banyak dari masyarakat kami sejak pandemi beralih profesl menjadi nelayan, karena kehilangan pekerjaan atau dirumahkan
4. Adapun penghasilan kami sebelum adanya pengerukan dilakukan dengan kondisi air laut yang tidak keruh dan jemih berjumlah sebesar Rp200.000.- per hari.
5. Semenjak adanya pcngerukan yang membuat air menjadi sangat keruh pendapatan kami menurun antara 60% hingga 80%.
“Kami menuntut hak kami yang terampas, karena selama adanya kegiatan pengerukan air di sekitar Teluk Benoa menjadi keruh. Kami para penyelam tradisional yang terdampak langsung dari kegiatan tersebut. jadi kami bukan minta-minta seoerti yang di tafsirkan,” ujarnya. Untuk itu, pihaknya menuntut hak sebagai termasuk korban dari pengerukan untuk pengembangan Pelabuhan Benoa. Sebelumnya Group Head Sekretariat Perusahaan, Ali Mulyono mengatakan, pihaknya tak hanya melakukan percepatan pembangunan di sisi darat, namun juga berfokus pada pengerukan alur dan kolam di area BMTH. “Pengerukan alur dan kolam di area BMTH akan terus kami kebut beriringan dengan pembangunan fasilitas di sisi darat. Nantinya alur dan kolam area BMTH akan merata hingga minus 12 MLWS dari sebelumnya minus 9 MLWS, sehingga harapannya mampu mengakomodir kunjungan cruise yang lebih besar, ” kata Ali, Senin (01/08/2022). Ali menambahkan, dukungan pemerintah dalam pengembangan BMTH yang diwujudkan melalui PMN ini diprediksi memberikan dampak ekonomi bagi pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan masyarakat secara langsung, mulai dari penerimaan pajak daerah, devisa dari wisatawan asing hingga pertumbuhan UMKM di kawasan Bali dan sekitarnya.
“Dari awal pembangunan BMTH ini diniatkan untuk memberikan semacam multiplier effect guna mendukung pengembangan ekonomi wisata di kawasan Bali sehingga mampu meningkatkan pendapatan warga melalui pengembangan UMKM dan pemerintah,” pungkas Ali. Selaian berupaya melakukan penataan di area BMTH, Pelindo juga melakukan upaya peningkata layanan operasional di area BMTH, salah satunya adalah perpanjangan dermaga timur di area BMTH dari sebelumnya sepanjang 360 Meter nantinya akan diperpanjang 160 Meter menjadi 500 Meter. Proyek pembangunan dermaga timur sendiri di mulai dari September 2021 dan di targetkan rampung pada akhir tahun 2022 ini. Nantinya perpanjangan dermaga timur ini juga akan menjadi bagian upaya Pelindo meningkatkan layanan baik jumlah kapasitas sandar kapal cruise, terminal penumpang domestik dan juga layanan terminal multipurpose. Sebelumnya Pelabuhan Benoa sendiri memiliki posisi strategis dalam rute pelayaran cruise dan yacht di Indonesia atau disebut dengan konsep Butterfly Route. Dalam pengembangannya, Benoa Cruise Terminal di Pelabuhan Benoa sebagai bagian utama BMTH diproyeksikan tidak hanya menjadi hub terminal cruise atau tempat sandar kapal pesiar terbesar di Indonesia, bahkan di Asia. Tetapi juga menjadi pusat pariwisata kemaritiman yang dilengkapi dengan Marina Yacht, Yacht Club, Theme Park, Sport Facility, serta dilengkapi dengan beragam fasilitas yang mendukung industri dan aktivitas perekonomian seperti LNG Terminal, Liquid Cargo Storage, Wet Berth, Dry Berth, Bali Fish Market, dan juga retail UMKM. tim/jp
You must be logged in to post a comment Login