NEWS
LNG Jadi Solusi Krisis Gas
DENPASAR, OborDewata.com – Dunia tengah mengalami krisis energi yang kompleks, dan gas bumi atau LNG tak luput dari krisis dimaksud. Dampak dari krisis energi terasa di banyak negara dan sektor industri. Pertama, pasar gas bumi sudah mengalami tekanan sebelum pecahnya konflik Rusia-Ukraina pada 24 Februari 2022 akibat minimnya investasi sejak 2015, pandemi COVID-19 pada tahun 2020, pemulihan pasca COVID-19 yang cepat meskipun tidak merata, dan terganggunya rantai pasok, terutama rantai pasok komoditas. Akibatnya, pasokan energi tidak dapat mengejar permintaan. Kedua, situasi ini kemudian diperburuk oleh tingkat dan volatilitas harga energi yang lebih tinggi. Krisis gas atau LNG saat ini dapat berdampak serius tidak hanya pada ketahanan energi global, tetapi juga kemajuan transisi energi dunia.
H.E. Eng. Mohamed Hamel, Sekretaris Jenderal Forum Negara-Negara Pengekspor Gas (Gas Exporting Countries Forum/GECF), saat Pertemuan Kelompok Kerja Transisi Energi ke-3 dan Pertemuan Tingkat Menteri Transisi Energi di Bali belum lama ini, menekankan pentingnya gas bumi seperti halnya LNG dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan berkontribusi pada perlindungan lingkungan hidup. Hal senada disampaikan, Prof Hidetoshi Nishimura, President ERIA, yang menekankan bahwa untuk mengatasi masalah gas global saat ini secepat mungkin. ERIA mengajak para pemangku kepentingan untuk bekerja sama dan berbagi best practices, pengalaman, dan komitmen terbaik mereka. Mr. Hiroshi Hashimoto, Head of Gas Group, Fossil Energies & International Cooperation Unit, The Institute of Energy Economies Japan (IEEJ), juga menjelaskan tujuh usulan solusi jangka pendek untuk krisis gas saat ini. Solusi jangka pendek untuk meringankan krisis gas, pertama, peningkatan produksi gas bumi dan LNG.
Hal ini penting mengingat fasilitas LNG yang ada saat ini dalam kondisi kapasitas penuh, namun investasi baru dalam bisnis LNG membutuhkan waktu sekitar lima tahun, sejak keputusan investasi akhir hingga produksi. Kedua, mendukung negara-negara dengan kapasitas idle atau proyek gas hulu yang tertunda untuk mendapatkan kembali kapasitas dalam memproduksi dan mengekspor gas, terutama ke wilayah yang sangat membutuhkan. Kerjasama regional kiranya menjadi salah satu faktor kunci untuk membantu negara-negara tertentu menyingkirkan potensi kendala kapasitas yang dapat disebabkan oleh berbagai masalah seperti masalah keuangan dan ketidakstabilan ketahanan dalam negeri. Ketiga, mengembangkan emergency plan (kesiapsiagaan darurat) yang diprakarsai oleh kelompok G20 untuk ‘mengalihkan’ kargo LNG ke wilayah dengan kebutuhan yang tinggi tetapi daya beli rendah.
Sangat penting untuk membantu negara-negara berpenghasilan rendah untuk mendapatkan kargo LNG. Mengubah rute kargo LNG ke wilayah tersebut akan membantu. Di sisi lain, mengingat perdagangan gas dijalankan oleh sektor swasta, mekanisme kompensasi atau insentif keuangan akan diperlukan baik bagi perusahaan gas atau negara pengimpor. Keempat, mengoptimalkan tujuan kargo LNG dengan memanfaatkan kesepakatan kontrak tertentu. Bersamaan dengan perubahan rute kargo LNG dari wilayah yang mengalami kelebihan pasokan, peningkatan jumlah kargo LNG yang tersedia dapat menjadi langkah penting dalam waktu dekat. Negara pengekspor harus berinisiatif untuk mengoptimalkan pengoperasian kapal dan terminal/pelabuhan LNG. Kelima, mengeluarkan pernyataan yang dapat membantu menstabilkan pasar gas jangka pendek.
Pesan semacam ini yang memastikan perlunya investasi gas baru sangat penting, mengingat dibutuhkannya kebijakan dan lingkungan bisnis yang memungkinkan investasi gas bumi baru. Meniadakan semua investasi bahan bakar fosil, termasuk gas bumi, demi memitigasi iklim dapat memperpanjang krisis energi saat ini dan mengakibatkan terkikisnya pertumbuhan ekonomi yang sehat, yang sangat diperlukan untuk upaya mitigasi jangka panjang. Keenam, memulai dan mengintensifkan diskusi untuk merumuskan langkah-langkah potensial jangka pendek untuk mengurangi volatilitas harga yang berlebihan. Perlunya menghindari intervensi yang dapat menciptakan lebih banyak ketidakpastian pasar dan perlunya merespon dengan benar dan kooperatif terhadap sinyal harga pasar. Ketujuh, segera membangun platform informasi yang real-time dan yang dapat diakses secara universal terkait perdagangan gas bumi.
Kesediaan perusahaan swasta untuk mengungkapkan berbagai informasi merupakan faktor kunci dalam membangun platform ini. Joint Gas Data Initiative (JODI) merupakan contoh yang baik dalam menjalankan upaya tersebut. Mengingat pengaruh kuat G20 dalam hal pasokan dan permintaan gas, banyak negara yang menekankan bahwa G20 perlu menyampaikan pesan yang kuat dan tegas mengenai perlunya investasi gas baru. Pesan-pesan seperti itu dapat secara positif mengubah perilaku lembaga keuangan terkait investasi terkait gas. Mengingat krisis gas dapat berkepanjangan, G20 juga didorong untuk melanjutkan diskusi dan kolaborasi dengan tujuan untuk menetapkan kebijakan yang dapat dijalankan dan lingkungan bisnis yang sangat diperlukan untuk investasi gas yang kuat. Koji Hachiyama, COO ERIA menekankan pentingnya ketahanan energi agar semua negara dapat melanjutkan pemulihan ekonomi dari pandemi dan melanjutkan rencana transisi energi untuk maju menuju net zero emisi pada pertengahan abad ini.
Hachiyama menyarankan agar G20, dengan pengaruh kuat pada pasokan dan permintaan gas, perlu mempertimbangkan semua cara yang tersedia untuk memperbaiki situasi ini dengan bekerja sama dengan organisasi internasional yang relevan seperti IEA, IEF, dan GECF. ERIA akan terus memberikan dukungan dalam menyelesaikan krisis gas, dalam memastikan ketahanan energi dan dalam mempercepat proses transisi energi. tim/ama/ksm
You must be logged in to post a comment Login