SUARA PEMBACA
Lompatan dari Papan Tulis
Oleh : Putu Suasta.
Denpasar, JARRAKPOS.com – Hari ini, 2 Mei, adalah hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara, tokoh pelopor pendidikan dan pendiri lembaga pendidikan Taman Siswa, yang oleh pemerintah Indonesia ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Untuk tidak sekedar memperingati dan berlalu begitu saja, penting kiranya kita melihat sejenak kembali esensi dari nilai-nilai pendidikan dan merenungkan sejenak sejauh mana kita telah melangkah sebagai bangsa dalam membangun dunia pendidikan di tanah air. Lebih tepatnya, sejauh mana kita telah menuaikan amanat perjuangan Ki Hadjar Dewantara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Manusia adalah makhluk yang cepat belajar. Dengan cara begitu, manusia mengubah dunianya sendiri dan dunia di luarnya. Dengan kreatif manusia dari zaman ke zaman menciptakan berbagai media untuk belajar, berbagi ilmu dan mencerdaskan diri maupun sesamanya. Di era Ki Hadjar Dewantara dunia pendidikan hanya mengenal buku dan papan tulis bersama kapur sederhana sebagai media belajar. Kini kita telah melompat jauh ke era digital, tapi esensi pendidikan semestinya tidak berubah.
Dalam tingkat formal, pendidikan biasanya berpegang kepada kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam kurikulum yang berlaku secara nasional. Ini biasanya berlaku kaku, statis dan acap kali ketinggalan zaman. Kurikulum nasional terlalu baku sementara zaman berkembang menyamai kecepatan jet. Kontradiksi inilah yang menyebabkan kebijakan pendidikan naional berjalan dalam irama try and error; silih-berganti seirama dengan pergantian Menteri Pendidikan. Padahal kurikulum itu sendiri menjanjikan peluang kepada percepatan dan penjelajahan. Dilihat dari pemaknaan etimologisnya, kurikulum yang berakar pada kata currere (Latin) bermakna percepatan, penjelejahan, berlari. Ini artinya, kurikulum—yang menjadi penerjemahan kebijakan pendidikan secara nasional—harus mencerminkan makna yang dimaksud. Bahwa kemudian ada bagian yang ‘mengikat’, itu tak lebih dari sesuatu yang mendasar belaka, dan bukan kepada bagian pengembangan dan eksplorasinya.
Baca juga : Ini Penjelasan Gempa Bumi di Tejakula Buleleng
Begitu kakunya dan sering terjadi try and error dalam kebijakan pendidikan nasional justru akhirnya membuat sejumlah pihak ‘tak sabaran’ untuk ‘keluar’ dari pembatasan-pembatasan kreatif dalam memajukan pendidikan. Kenyataan itulah yang menjadi dasar terbangunnya sekolah-sekolah akseleratif di mana mereka relatif bebas membangun kurikulumnya sendiri. Ini pula yang menjadi pertimbangan para kaum mapan untuk menyekolahkan anak-anak mereka pada sekolah-sekolah sejenis itu. Maka pemerintah jika hendak membangun dunia pendidikan harus kembali mengevaluasi arah pendidikan nasional dengan menekankan pada kurikulum yang lebih terbuka, progresif terhadap perubahan dan memberi peluang sebesar-sebesarnya kepada penjelajahan sains, meng-create kearifan lokal dan terbangunnya lebih bebas aspek demokratis dalam dunia pendidikan nasional. Jepang menjadi hebat karena setidaknya di Asia karena negara tersebut memberi perhatian yang luar biasa kepada pendidikan nasionalnya.
Zaman berubah dan orang-orang harus mengikuti. Tapi selalu ada yang harus dipegang tetap dalam kerangka kemanusiaan. Begitu pun dalam dunia pendidikan. Segala ikhwal menemukan hal-hal barunya, apalagi kemudian hal tersebut bertransformasi secara global. Yang paling mendasar untuk diperhatikan dalam perubahan-perubahan yang begitu cepat ialah dunia pendidikan. Di masa sekarang, lompatan-lompatan kreatif, nilai, cara pandang, hasil-hasil teknologi dan percepatan informasi menempatkan tiap bangsa berada pada kompetisi-kompetisi kultural dan intelektual. Fakta-fakta itulah yang tak dapat disangkal. Dan pendidikan pun berada di dalam gelombang perubahan yang sangat cepat itu. Jika pendidikan kita masih berkutat kepada kurikulum kaku, basi dan tak elastis mengakomodasi perubahan, maka bangsa kita akan sulit menjadi bagian dari pergaulan intelektual dunia. Bangsa-bangsa besar seperti yang ada di Eropa,meski dunia pendidikan mereka telah mapan dengan kurikulum yang dibangun sangat matang, pun masih mengakomodasi peluang perubahan.
Baca juga : Wagub Cok Ace Terima Audensi Toyama Jepang, Hibahkan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas di Bali
Bagi Pendidikan, perubahan adalah tantangan. Perubahan memberi hal baru tiap hari. Kebaruan teknologi, kebaruan dan percepatan informasi, adab tata pergaulan dunia, sampai pada terlepasnya sekat-sekat geografis negara-negara di dunia oleh internet. Yang disebut terakhir menjadi trend terpenting menandai pergolakan kebudayaan dunia. Internet mengambil terlalu banyak arus informasi sehingga banyak hal-hal konvensional ditiadakan olehnya. Dunia perbukuan dan jurnalisme konvensional menjadi tumbang perlahan-lahan oleh kehadiran internet. Sebagian peran pos juga terkikis oleh internet. Produk-produk internet lainnya seperti facebook, twitter, youtube, email, whatsApp dan sejumlah aplikasi lainnya membawa perubahan signifikan bagi peradaban dunia saat ini.
Tantangan itu bukan lagi menganga di depan kita, tetapi kita telah ada di dalamnya. Harus ada good will pada lintas instansi. Karena tantangan perubahan itu tidak menyuruk pada satu sektor, melainkan menyuruk pada keseluruhan dimensi kehidupan. Dalam konteks ini, yang utama disasar ialah keberanian yang revolutif untuk mengubah tatanan sistem pendidikan. Harus diselesaikan segera kebijakan-kebijakan tumpang-tindih yang selama ini terjadi karena hal itu sungguh-sungguh menghambat progresivitas kita sebagai bangsa.
Baca juga : Jadi Catatan Sejarah Suara Jokowi 92 Persen, Kini Saatnya Jatah Menteri Pariwisata untuk Krama Bali
Masalahnya, bagaimana membangun kesadaran revolutif dalam dunia pendidikan kita? Dari mana memulai? Apa persoalan paling mendasar yang sesungguhnya terlupakan hingga saat ini? Apakah goal edukatif yang dikehendaki dalam jangka pendek maupun jangka panjang? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah pertanyaan-pertanyaan kunci yang mendorong menemukan kembali arah sistem pendidikan nasional yang kita kehendaki. Maka, di paling pucuk yang harus kita lihat adalah good will para pemegang kebijakan pendidikan. Good will pada pemegang kebijakan pendidikan dibangun untuk menggerakkan/menyadarkan bahwa sistem pendidikan di segala jenjang harus diperiksa kembali. Tantangan perubahan demikian besar dan datang setiap hari, maka tak ada waktu lagi menunda-nunda. Yang utama hanyalah bagaimana kurikulum disusun untuk mengejar ketertinggalan kita selama ini dengan negara-negara lain. Jepang adalah representasi yang paling dekat untuk menjadi rujukan bagaimana sistem pendidikan mereka berjalan dalam dua arah; ke depan melakukan eksplorasi sains, ke dalam menanamkan dalam-dalam akar nilai tradisi/budaya dan menjaga keutamaan budi pekerti mereka. dan Jepang berhasil melakukan hal itu.
Dalam hal budaya, kita tak jauh dari Jepang. Mereka mempunyai warisan tradisi, nilai budi pekerti dan kearifan leluhur. Pun tak ubahnya dengan kita. Yang menjadi masalah ialah bahwa kita belum optimal ‘membenamkan’ kekayaan itu ke dalam sistem pendidikan kita. Kinilah saatnya untuk membangun sistem pendidikan nasional yang lebih terbuka, eksploratif sekaligus menjaga kekayaan warisan budaya dan moral ke-Indonesiaan. Keberanian kurikulum yang lebih progresif membuka diri untuk hal-hal yang bersifat teknokratif lebih berpeluang mengantisipasi kegagapan kita dalam pergaulan teknologi yang begitu pesat berkembang saat ini. Hari ini adalah momentum yang sangat signifikan untuk memulai, untuk berbenah, untuk menjadi permenungan mendasar dari Hari Pendidikan Nasional kita yang jatuh pada 2 Mei 2019 ini, yakni upaya yang serius melakukan lompatan dari papan tulis ke dimensi kompugrafik, teknologi dan digitalisasi. ***
You must be logged in to post a comment Login