SUARA PEMBACA
“MENHUB BINGUNG..!”
Jarrakpos.com. “Bingung, bingung…aku bingung…” Bait lagu penyanyi legenda, Eddy Silitonga. Kali ini pas dinyanyikan Menhub, Budi Karya Sumadi. Bingung yang memicu pening kepala. Apalagi, kalau bukan soal Bandara Kertajati.
Digeser ke kiri, tak berarti. Digeser ke kanan, tak karuan. Kadung bingung dan pening jadi lumrah. Bila sebaliknya, malah bisa dianggap tak waras. Lantas, bandara akan dialihfungsikan. Sebagai perawatan pesawat. Istilahnya “maintenance, repair and overhaul” (MRO). Koq, bisa..?! Ya, bisa saja. Tapi nanti dulu.
Bukankah sejak awal dicanangkan sebagai bandara internasional. Bahkan diklaim terbesar ke-dua di Indonesia. Bandara Kertajati dibangun di atas lahan seluas seribu hektar. Rencananya meliputi 1.800 hektar. Termasuk kawasan “aero city”. Landasan pacu sepanjang 3.000 meter, lebar 60 meter. Memenuhi syarat untuk pesawat badan lebar. Boeing 777 dan atau Airbus A-380. Praktis, penerbangan jarak jauh. Kapasitas 5,6 juta penumpang per tahun.
Biaya pembangunan hampir Rp 3 Trilyun. Ditambah menara dan piranti ATC senilai Rp 1 Trilyun. “Air Traffic Controller”, pemandu lalulintas udara (penerbangan). Total nilai investasi Rp 4 Trilyun. Kali ini, begitu mudah mau dialihfungsikan. Sebatas itukah tanggungjawab? Rakyat Jawa Barat boleh kecewa. Sejumlah biaya sangat besar tadi, notabene milik rakyat. Seharusnya kembali untuk kemakmuran rakyat.
Bedah “caesar” tak membuahkan pertumbuhan sehat. Kejar tayang operasional bandara berdampak multidimensi. Konon, jelang Pilpres 2019. Terkesan “dipaksakan”. Resmi operasional 24 Mei 2018. Pesta sesaat. Tak lama berselang, terpaksa bubar.
Saya menulisnya di kolom opini “PR” 03 Agustus 2019. Bab “feasibility study”, faktual tak memadai. Tak cukup komprehensif. Bersamaan mulai operasional bandara, sudah menuai masalah. Kita simak, yuk..!
Bandara Kertajati mengawali 56 penerbangan (in – out). Melulu pesawat jet. Meliputi 12 rute domestik. Sejumlah itu pindahan dari bandara Husein Sastranegara di Bandung.
Alhasil hanya menyisakan 48 penerbangan jarak dekat. Pesawat baling-baling atau ATR (Avions de Transports Regional). Plus 48 penerbangan (jet) internasional ke Singapura dan Kuala Lumpur (Malaysia).
Tak ada lagi pesawat rute domestik berdaya muat besar untuk kargo yang “take off” dan “landing” di bandara Husein. Daya muat kargo pesawat ATR, tentu sangat minim. Tidak fisibel.
Lalulintas kargo itu mencapai 95% tujuan domestik. Sementara aktivitas penerbangan domestik pesawat jet berpindah ke Kertajati.
Biaya angkut kargo (trucking cost) jadi berlipat. Pilihan ekonomis, langsung ke bandara di Jakarta. Lebih dekat dibanding jarak ke Kertajati di Majalengka.
Pergeseran aktivitas penerbangan itu menyisakan kendala. Meliputi fungsi terminal kargo, “ground handling” dan peran sistem keamanan kargo. Yang terakhir ini disebut “Regulated Agent” (RA). Bersamaan operasional bandara Kertajati, potensi pendapatan hilang percuma. Sekira Rp 110 juta per hari atau Rp 3,3 milyar per tahun. Bangkrut!
“Lost income” itu tak serta-merta berpindah ke Kertajati. Itu tadi, biaya angkut membengkak. Apalagi kontribusi penumpang terhadap laba cuma 5%. Selebihnya merupakan “cash flow” dari kargo. Adegan berikutnya, operasional bandara tak mampu optimal. Kolaps. Betapa tidak, biaya operasional pesawat jet mencapai 6.500-7.500 dolar AS. Setara Rp 92 – 106 juta per jam. Itu artinya, tingkat keterisian (seat load factor) mesti 50-70%. Faktanya jauh dari minimal itu. Mana tahan. Maka, slot penerbangan maskapai, lazim tak akan digunakan. “No operational..!”
Belakangan aktivitas penerbangan dikembalikan ke bandara semula. Setelah setahun megap-megap. Bandara Kertajati mati suri. Bandara Husein menggeliat lagi. Kian terbukti, hasil studi tak matang. Gagal kalkulasi.
Diawali (sangat) minus infrastruktur pendukung. Tak sebatas kesiapan tol Cisumdawu. Tak kunjung rampung. Berulang molor waktu. Terakhir lagi-lagi dijadual ulang. Bakal rampung akhir 2021 nanti. Ditengarai pula bau tak sedap korupsi.
Idealnya rampung dulu Cisumdawu. Barulah operasional bandara. Waktu tempuh menjadi singkat. Bisa cuma 30 menit. Pun “shuttle bus” atau layanan taksi. Konsep terbalik, lantas “pabaliut”. Boleh saja “debatable”. Hal pasti, jaminan kenyamanan atas fasilitas penerbangan, menguap dalam durasi pendek. Kepercayaan terhadap pemerintah terganggu. “Distrust..!”
Minus awal lainnya. Bandara internasional Jawa Barat tak penuhi prasyarat operasional. Belum ada “crew hotel” minimal bintang-4, rumah sakit, hingga fasilitas “qustom, imigration, quarantine”. Bila difungsikan embarkasi haji, pun diperlukan asrama.
Bingung, ya bingung. Semula untuk penerbangan domestik. Klasifikasi pesawat bermesin jet. Belum ke fungsi bandara internasional (long distance). Masih tahap “uji coba”. Tak lama “kolaps”. Muncul skenario jadi embarkasi haji. Mencakup jemaah dari Jabar dan Jateng. Belum terealisasi, belakangan mengarah ke sektor nonpenumpang. Ya, tadi fungsi perawatan pesawat (MRO), kargo dan pengembangan “aero city”. Sengkarut alias “pabaliut”.
Alasan utama, sepi penumpang. Malah sejak Februari 2019. Dua tahun silam. Seolah sebatas menggiatkan fungsi bandara. Bak ambigu terhadap “master plan”. Rencana induk, kadung berantakan. Adalah fasilitas dan layanan transportasi udara. Mestinya, tak semudah menggubah aransemen lagu. Bingung..!!
Sumber : Imam Wahyudi
Editor : kurnia
You must be logged in to post a comment Login