Connect with us

    NEWS

    *Negeri yang Pernah Diurus, Serius dan Sepenuh Hati*

    Published

    on

    Jarrakpos.com. Bagai kenangan masa lalu. Terbayang dalam ingatan kita. Adalah tentang bagaimana dan metode pemilihan menteri di era Pak Harto. Berlangsung selektif, berwibawa, berilmu dan berintegritas. Begitu, kesan yang mengemuka. Hampir tak pernah kita dengar ada menteri era beliau yang aneh-aneh pernyataan dan perbuatannya.

    Semua terdidik dan tertata baik. Koordinasi antardepartemen sangat baik. Tidak ada yang menjadi menteri segala urusan. Suasana sistem kelola negara menjadi keutamaan dan terpelihara di setiap agenda kenegaraan.

    Pemilihan menteri berkompeten di bidangnya. Meski zaman itu, gelar profesor masih jarang — namun kebanyakan mereka bergelar profesor. Apa artinya? Memang, prestasi akademik menjadi tolok ukur kemampuan, pemikiran, dan kewibawaan. Menjanjikan pada pandangan pertama. Bahkan saat diumumkan susunan kabinet.

    Dalam acara kenegaraan, tingkat regional Asean dan atau level dunia — pemimpin kerap ikut mewarnai. Berada di barisan depan dalam banyak tampilan foto media cetak. Tampak, dihormati sebagai pemimpin negara besar : Indonesia.

    Advertisement

    Tak kurang di tingkat daerah. Pada zaman itu, tak ada ceritanya — anak baru tamat kuliah bisa jadi bupati atau walikota. Bahkan “sekadar” anggota dewan. Dunia politik dimaknai sebagai zona bagi hanya orang mapan kemampuan, olah fikir, ekonomi dan utamanya pendidikan. Terasa, benar-benar selektif.

    Jabatan gubernur diproyeksikan bagi setingkat (minimal) bintang satu atau sekaliber rektor perguruan tinggi. Setingkat di bawahnya, bupati/walikota bagi prajurit setingkat kolonel. Prasyarat itu menunjukkan sudah lebih dulu mengabdi dan pengalaman, tak jarang belasan tahun. Selanjutnya diharapkan “running well”. Tak butuh waktu lagi untuk bisa menerjemahkan arah pembangunan dari skala nasional ke daerah.

    Penulis tidak sedang mengigau dan atau gelisah. Dua hal yang belakangan kerap menjadi menu obrolan spontan di warung kopi.

    Zaman itu, ladang politik bukan tempat “orang-orang buangan” yang tidak diterima di dunia kerja. Lantas bermodal duit, meski minus kompetensi — rela mengekor keluarga yang lebih dulu menjadi anggota dewan dan kepala daerah. Lahir politik dinasti, nyaris tanpa kompetisi.

    Advertisement

    Pemisalan yang dialami Mbak Tutut. Dia diangkat menjadi menteri, setelah berusia 49 tahun. Itu pun, sebelumnya pernah jadi anggota MPR RI. Jadi kalo pun disebut nepotisme, tapi relatif sudah cukup matang. Bukan lagi lantaran coba-coba dan “aji mumpung”. Berbanding terbalik dengan masa kini di banyak lini kekuasaan.

    Dewasa ini, geliat nepotisme malah mencolok mata. Meski dengan dalih dipilih langsung oleh rakyat. Lantas, di tubuh kesatuan dan pemerintahan. Siapa jadi apa, karena bapaknya ada di lingkaran kekuasaan. Satu keadaan yang memicu, “Kangen zaman Pak Harto.”

    Zaman, ketika tak boleh ada sekolah swasta kaya. Dibuat seragam SD sampai SMA dengan satu tujuannya, agar si kaya dan si miskin bisa satu kelas dalam tujuan pendidikan.

    Zaman, ketika berlangsung swasembada pangan. Bahkan surplus hingga bisa diekspor. Semata atasnama negara agraris. Jaminan ketersediaan beras, menentramkan kebutuhan rakyat.

    Advertisement

    Zaman, ketika para petani dijadikan tamu mimbar dialog secara berkala. Komunitas petani bergulir lewat klopencapir

    Zaman, ketika pak Harto menunjukkan pada dunia akan Indonesia sebagai negara besar dan makmur. Berkala lainnya, agenda Panen Raya.

    Era sekarang, tampak berbeda. Turun ke sawah, terkesan dikaitan agenda pemilu. Menjelang tradisi demokrasi lima tahunan, rela masuk lumpur persawahan. Berikutnya, setelah terpilih dan jadi balik lagi ke tradisi “boro-boro mikirin petani.” Berulang kali, saat masa petani panen — malah dihajar dengan membuka keran impor.

    Zaman Pak Harto, masuk perguruan tinggi negeri berbiaya murah banget. Zaman sekarang, pendidikan — na’uzubillah — mahal banget. Masuk SD saja, bisa puluhan juta. Ke sekolah swasta, kadung berlabel bagi status sosial tinggi. Dunia pendidikan sudah bergeser dalam komoditifikasi status sosial. Zaman Pak Harto, sekolah-sekolah negeri berada di level tertinggi.

    Advertisement

    Anak tukang becak bisa kuliah, sudah biasa. Sekarang, anak tukang becak bisa lulus pendidikan tinggi dianggap sebagai mukjizat. Puskesmas di mana-mana. Sistem pengobatan teratur, posyandu dijadikan gerbang besar kesehatan publik. Ibu-ibu PKK dijadikan “volunteer” atas kinerja negara di bidang kesehatan. Zaman sekarang, para dokter dan suster diajarkan bagaimana cara berbisnis.

    Pada zaman Pak Harto, bidang pendidikan, kesehatan dan papan menjadi tugas layanan negara. Berbeda saat bidang-bidang itu diarahkan menjadi alat kapitalis dalam menguras kerja rakyat. Nyaris, kendur pertanggungjawaban negara atas ruang publik tadi.

    Semasa zaman Pak Harto, selalu dekat dan santun dengan ulama. Menjadikan negeri ini sangat teras adem. Ya, karena diurus dengan serius. Sepenuh hati.

     

    Advertisement

     

    Sumber : Hari. S
    Editor : Kurnia

    Advertisement

    Tentang Kami

    JARRAKPOS.com merupakan situs berita daring terpercaya di Indonesia. Mewartakan berita terpercaya dengan tampilan yang atraktif dan muda. Hak cipta dan merek dagang JARRAKPOS.com dimiliki oleh PT JARRAK POS sebagai salah satu perusahaan Media Cyber di unit usaha JARRAK Media Group.

    Kantor

    Jl. Danau Tempe No.30 Desa Sanur Kauh, Denpasar Selatan, Denpasar – Bali Kode Pos: 80227
    Tlp. (0361) 448 1522
    email : [email protected]

    Untuk pengajuan iklan dan kerja sama bisa menghubungi:
    [email protected]