NEWS
Pemerintah Didorong Ikut Jadi Investor Pembangunan Bandara Bali Utara
Foto : Akademisi FH Unud, Dr. Putu Tuny Sakabawa Landra, SH.MH.
[socialpoll id=”2481371″]
Denpasar, JARRAKPOS.com – Rencana pembangunan Bandara di Bali Utara, pemerintah diharapkan tidak hanya menjadi regulator namun mampu menbaca perencanaan dan menjadi investor dari sisi bisnis. Badan usaha daerah harus dikedepankan dalam perencanaan dan pembangunan sehingga asensi dari pembangunan Bandara Bali utara bisa dikawal dengan baik sesuai konsep pemerataan pembangunan pariwisata Bali yang berkelanjutan. “Posisi pemerintah bukan saja sebagai regulator, pemerintah bisa sebagai interpreneur. Secara bisnis kalau investor hadir lalu tidak menguntungkan ya pasti tidak mau, bisnis itu untung apa tidak. Walau kondisi perang tetapi kalau untung dia datang, nah sekarang menurut pemikiran saya Bandara di Singaraja pemerintah yang harus turun tangan sebagai investor,” papar Akademisi FH Unud, Dr. Putu Tuny Sakabawa Landra, SH. MH. Di Denpasar, Minggu (15/4/2018).
Dari sisi sejarah sebetulnya Singaraja adalah ibukota Bali sejak Belanda menguasai Bali Utara pada 1846. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.21/1950, Singaraja kemudian menjadi ibu kota Kepulauan Sunda Kecil dan ibu kota Bali sampai 1958. Atas kepentingan geopolitik, pusat administrasi dipindah ke Denpasar yang saat itu masih menjadi bagian dari pemerintah daerah Kabupaten Badung. “Banyak pejabat datang ke Bali melui Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai dan melakukan perjalanan panjang dengan jarak tempuh lama menuju Singaraja yang menjadi alasan ibukota dipindahkan ke Denpasar tahun 1958,” jelas akademisi kelahiran Singaraja ini.
Sebagai ibukota, Denpasar tidak disiapkan dengan matang sehingga kualitas infrastruktur saat ini tidak mampu menjawab pertumbuhan kendaraan yabg menyebabkan banyak titik rawan kemacetan. Kondisi inilah yang harus segera direspon pemerintah bila ingin wisatawan lebih lama tinggal di Bali. Ide dan gagasan membangun Bandara di Singaraja akhirnya menjadi sangat rasional menjawab tantangan pemerataan pembangunan antara Bali Selatan dan Bali Utara, sekaligus mengurangi beban Denpasar sebagai Ibukota. Dengan demikian rencana membangun Bandara di Bali Utara bisa disipakan dengan baik menjawab datangnya kapal-kapal besar dan kuantitas penerbangan yang diproyeksikan akan semakin tinggi untuk kebutuhan satu dekade kedepan. “Awal di bikin Bandara akan bisa disiapkan karena prediksi kapal-kapal besar akan semakin banyak datang ke Bali, sementara di Bandara Ngurah Rai sudah tidak memungkinkan memperpanjang runway. Kalau itu dipaksakan akan banyak hal kemudian yang dilanggar baik dari aspek yuridis, geografis kan ini menjadi persoalan,” jelasnya.
Menjawab tantangan dan kebutuhan pembangunan Bandara di Bali Utara, sudah saatnya pemerintah harus berani tidak hanya sebagai pemberi kebijakan atau pembuat regulasi namun ikut hadir sebagai investor atau pelaku bisnis agar memberikan aspek keuntungan bagi masyarakat Bali kedepannya yang lebih baik. Konsepnya jangan lagi pemerintah abai terhadap persoalan ekonomi, karena rakyat berdaulat maka pemerintah di Bali baik provinsi maupun pemerintah Kabupaten Buleleng melalui perusahaan daerah (Perusda) harus berani mengelola Bandara di Singaraja yang tentunya didukung kerjasama dengan pihak swasta. “Pemerintah harus berani turun selaku pelaku ekonomi, sudah saatnya pemerintah tidak saja selaku regulator karena sudah memiliki badan usaha daerah. Bila Bandara itu serius untuk digarap dan diwujudkan saya rasa mampu untuk memeratakan pembangunann Bali dan melestarikan pariwisata bekelanjutan. Mengingat banyak tamu mengeluh dengan kondisi kemacetan saat ini,” pungkasnya seraya menambahkan waktu pengerjaan Bandara bukan menjadi persoalan, sepanjang rancang bangun sesuai perencanaan untuk jangka panjang didukung kajian yang lengkap dan komprehensif. eja/ama
You must be logged in to post a comment Login