POLITIK
RUU Omnibus Law Ditolak, FSP Par-SPSI Bali Tak Alergi Percepatan Investasi
Denpasar, JARRAKPOS.com – Pro dan kontra pembahasan RUU Omnibus Law hingga kini belum menemukan titik temu. Bahkan khusus Kluster Ketenagakerjaan, RUU ini dinilai sangat merugikan pekerja terutama para buruh. Seperti ditegaskan Ketua Pengurus Daerah Federasi Serikat Pekerja Pariwisata – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PD FSP PAR – SPSI) Provinsi Bali, Putu Satyawira Marhaendra kembali menegaskan tidak alergi dengan upaya pemerintah mempercepat terbangunnya investasi melalui RUU Omnibus Law, melainkan hanya menolak RUU Omnibus Law Kluster Ketenagakerjaan. Karena pihaknya menilai Omnibus Law RUU Cipta Kerja melemahkan posisi pekerja dan buruh dalam menentukan nasib dan kesejahteraanya.
“Yang harus kami clear kan dulu bahwa kami dari serikat pekerja/serikat buruh apapun benderanya, kalau kami di FSP PAR-SPSI Provinsi Bali bukan menolak investasi tetapi menolak RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Kluster Ketenagakerjaan,” terang Satyawira saat menjadi salah satu pembicara dalam Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan SDM Bali di Kantor DPD RI Perwakilan Bali, Renon, Rabu (9/9/2020). Satyawira menyampaikan alasan mendasar penolakan RUU Omnibus Law Kluster Ketenagakerjaan karena keberadaanya lebih lemah dibandingkan keberadaan Undang-Undang Nomer 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dikatakan, kelemahan yang dilihat disebutkannya dari segi hubungan kerja dimana pada Undang-Undang 13 Tahun 2003 memberikan kepastian kepada tenaga kerja untuk menjadi karyawan tetap, namun di RUU Omnibus Law Kluster Ketenagakerjaan hal tersebut sulit diwujudkan. “Kalau di Undang-Undang 13 Tahun 2003 dimana PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), pekerja alih daya outsourcing walaupun lebih jelek, tapi kalau dibanding dengan RUU Cipta Kerja jauh lebih jelek RUU Cipta Kerja kenapa? Karena nasip orang untuk bisa menjadi pegawai tetap PKWTT itu nyaris tidak bisa di Omnibus Law Cipta Kerja. Sehingga dia akan menjadi kontrak seumur hidup, walaupun mungkin berpindah pindah tempat kerja,” jelasnya.
Harapan itu didasari karena di negara dengan dasar negera Pancasila buruh menginginkan adanya masa depan yang baru bisa didapat melalui status pekerja tetap. Hal tersebut menjadi dasar penolakan RRU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan, karena tidak dapat mengakomodir usulan serikat pekerja/serikat buruh dalam pembahasan Tim Tripartit. Delapan buah alasan dijelaskan yang mendasari penolakan dari FSP PAR-SPSI dan Kongederasi SPSI yang dipimpin Yorrys Raweyai menolak RUU Cipta Kerja yakni, 1. Muatan materi RRU CK-KK mengurangi (mendegradasi) hak-hak dasar pekerja/buruh. 2. Secara filosofis muatan materi RUU CK-KK bertentangan dengan nilai-nilai Panvasila dan UUD 1945.
3. Secara sosiologis muatan materi RUU CK-KK tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat pekerja/buruh. 4. Secara yuridis muatan materi RUU CK-KK landasan yuridis RUU tidak menyelesaikan konflik hubungan industrial. 5. Muatan materi RUU CK-KK bertentangan dengan hak asasi manusia. 6. RUU CK-KK menciptakam kekosongan hukum di bidang hububgan industrial. 7. RUU CK-KK bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan. 8. RUU CK-KK bertentangan dengan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi. Kembali ditegaskan Satyawira, pihaknya tidak menolak investasi atau Tenaga Kerja Asing (TKA). Adapun keberadaan TKA yang ditolak ketika pekerja yang dimaksud tidak melakukan alih daya atau tranfer knowladge yang membuat SDM lokal selalu jadi kuli (tidak naik tingkat).
Untuk itu pihaknya menyampaikan terimakasih diberikan kesempatan dalam FGD menyampaikan aspirasi perjuangan. “Kami berterimakasih diundang oleh SDM Bali dibawah pimpinan Gunawan Wicaksono melalui focus group discussion bisa memperjelas posisi kami sebagai serikat pekerja yang memang berjuang untuk perbaikan serta peningkatan kesejahteraan dan perlindungan terhadap tenaga kerja. Tidak diartikan sebagai serikat pekerja yang menolak investasi,” tandasnya. eja/ama/ksm