NEWS
Sadranan di Kampung Nambangan, Tradisi Masyarakat Jawa yang Mempunyai Makna dan Nilai
KOTA MAGELANG,jarrakpos.com — Sadranan alias nyadran menjadi salah satu tradisi yang masih kental dilestarikan masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah.
Biasanya nyadran dilakukan pada masa menjelang bulan ramadan. Di luar waktu tersebut masyarakat Jawa juga terbiasa melaksanakan kegiatan nyadran pada penanggalan tertentu, contohnya saat Syakban.
Dalam kegiatan nyadran, masyarakat Jawa akan berkirim doa kepada para leluhur yang telah tiada untuk memohonkan ampun atas dosa-dosanya seperti yang dilakukan warga Kampung Nambangan Kecamatan Magelang Tengah Kota Magelang saat ini di makam Karang Kidul ,Minggu (18/2/2024).
Tradisi yang satu ini merupakan sebuah campuran antara budaya lokal dengan nilai-nilai yang ada dalam agama Islam. Diceritakan menurut sejarah, Sadranan merupakan kegiatan yang biasanya dilakukan oleh umat Hindu dan Buddha sekitar abad ke-15.
Tradisi yang satu ini merupakan sebuah campuran antara budaya lokal dengan nilai-nilai yang ada dalam agama Islam. Diceritakan menurut sejarah, Sadranan merupakan kegiatan yang biasanya dilakukan oleh umat Hindu dan Buddha sekitar abad ke-15.
Pola kegiatan dari tradisi Sadranan mulai mengalami perubahan ketika Islam mulai diperkenalkan di Jawa oleh para wali sanga.
Dahulu, ritual Sadranan condong kepada aksi pemujaan roh. Namun seiring berkembangnya agama Islam, masyarakat memahami bahwa sebuah permohonan hanya dapat dibuat melalui Tuhan Yang Maha Esa.
Ritual dimulai dengan kegiatan membersihkan makam pada sore harinya. Dalam hal ini seluruh keluarga harus terlibat dan ikut membersihkan makam.
Kemudian dilanjutkan dengan menggelar selamatan atau kenduri pada area kosong yang ada di sepanjang jalan menuju makam.
Kegiatan selamatan atau kenduri biasanya diumumkan dengan pengeras suara yang ada di masjid atau musala di sekitar wilayah tersebut. Seluruh masyarakat beserta keluarga mereka diharap bisa berkumpul dengan membawa makanan dari rumah.
Tak ada ketentuan jenis makanan yang harus dibawa sehingga akan tampak lebih beragam.
Menariknya, dikutip dari laman resmi pemerintah Jawa Tengah, jatengprov.go.id, di beberapa daerah, seperti di Jawa Tengah bagian utara bahkan masih terdapat pantangan untuk mencicipi makanan yang dimasak untuk prosesi Sadranan.
Pemimpin atau tokoh masyarakat kemudian akan mengawali acara dengan menyampaikan terima kasih atas berkat yang telah dibawa masing-masing keluarga dari rumah sebelum doa bersama dilakukan. Jika dilihat, tradisi ini memang dikemas seperti halnya kegiatan kajian atau pengajian.
Berlanjut ke prosesi kenduri, para peserta akan melantunkan ayat Al-Qur’an serta berselawat. Tak lupa bacaan tahlil dan doa tahlil sebagai penghantar bagi leluhur agar diberikan tempat terbaik di surga.
Masyarakat Jawa biasanya juga mempersiapkan persembahan berupa kue apam, kolak, dan ketan yang konon menjadi landasan ritual doa di kala prosesi nyadran.
Ketiga jenis makanan tersebut kemudian disiapkan ke dalam sebuah wadah yang terbuat dari daun pisang dan ditusuk sepotong lidi di ujung kanan dan kirinya. Tak hanya sebagai persembahan, sajian tersebut juga dijadikan hantaran untuk dibagikan kepada saudara yang lebih tua.
Tak sekadar rangkaian ritual, kita dapat memaknai tradisi nyadran melalui sudut pandang yang lain. Hampir seluruh prosesi dilakukan secara bersama-sama sehingga terdapat budaya gotong-royong dalam tradisi nyadran.
Nilai-nilai kebersamaan, kerukunan, dan kerja sama juga tampak dalam sebuah tradisi nyadran di Kampung Nambangan saat ini. Tradisi ini tak hanya diperuntukkan bagi umat Islam.
Sering kali masyarakat antaretnis dan agama berkumpul untuk memanjatkan doa bersama-sama.(fri)
Editor : Feri
You must be logged in to post a comment Login