NEWS
Sertifikat Dibatalkan Pengadilan Bukan Kepemilikan Atas Tanah
JAKARTA Jarrakpos.com – Guru Besar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia Prof Agus Surono mengatakan bahwa sertifikat yang dibatalkan oleh pengadilan bukanlah bukti kepemilikan atas tanah. Agus mencermati dalam beberapa hari belakangan terkait adanya pemberitaan soal sengketa tanah yang selanjutnya disebut Sengketa, antara sdr TP dengan AG terkait objek tanah seluas 20.110 m2, yang terletak di Salembaran Jaya, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.
“Di beberapa media online. Sengketa tanah sebagai Gugatan No. 785/Pdt.G/2021/PN.TNG tersebut menarik untuk dicermati, mengingat terdapat keterangan yang disampaikan oleh Ahli Pajak Bumi dan Bangunan yang menyatakan “bahwa girik bukan sebagai bukti hak kepemilikan tanah, namun ditegaskan bahwa kepemilikan hak atas tanah yang sah dan diakui negara adalah sertifikat.”.”kata Agus kepada awak media, Sabtu (26/2).
Dijelaskan Agus, Berkaitan dengan keterangan ahli tersebut, maka menarik untuk dibahas terkait dengan beberapa pertanyaan antara lain: apa yang sebenarnya dikualifikasi sebagai sengketa tanah, apa saja yang dapat dikualifikasi sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah, apa perbedaan antara girik/letter C dengan sertifikat, serta apa konsekuensi hukum apabila sertifikat hak atas tanah telah dibatalkan oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Selanjutnya, Agus menguraikan terkait bahasan yang pertama mengenai apa yang dimaksud dengan sengketa tanah sebagaimana Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas.
Menurut Agus, biasanya, sebuah perkara sengketa tanah yang masuk dalam lingkup hukum perdata atau administrasi negara bisa terjadi karena beberapa faktor yaitu:
“Pertama, faktor awamnya pelaku jual-beli lahan terhadap hukum (khususnya pertanahan) yang berlaku di Indonesia. Kedua, sistem sertifikasi tanah yang ada di Indonesia hanya bersifat formalitas. Hingga, sistem peradilan sengketa tanah yang menghabiskan biaya dan waktu yang cukup banyak.”beber Agus.
Dikatakan Agus, sengketa tanah haruslah dibedakan dengan masalah “Mafia Tanah” yang dapat dikualifikasi suatu kejahatan klasik yg terorganisir dan memiliki ekpertis yang profesional. Kata Agus, modusnya adalah melalui pembuatan dokumen palsu atas bukti kepemilikan hak atas tanah yang bekerjasama dengan oknum yang mempunyai kewenangan dalam penerbitan bukti alas hak palsu, yang biasanya dilakukan secara rapi sehingga sulit untuk diungkap.
“Kemudian akan diuraikan mengenai apa saja yang dapat dikualifikasi sebagai bukti kepemilikan tanah sebagaimana dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam PP No. 24 tentang Pendaftaran Tanah, sebagaimana turunan dari ketentuan Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria.”ujar Agus.
Agus menjelaskan, Secara hukum administrasi pihak yang mempunyai hak atas tanah harus melakukan proses permohonan hak atas tanah tersebut sebagaimana diatur dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Selanjutnya Pasal 1 angka 1 PPNo. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran Tanah, menyebutkan bahwa.
”Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.”tutur Agus.
Adapun yang dimaksud dengan data yuridis merupakan dasar penguasaan atau alas haknya dapat berupa sertifikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari Pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT, akta pelepasan hak, dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya.
Kata Agus, yang menarik untuk dicermati yaitu adanya Putusan No. 13/G/2018/PTUN -SRG, tanggal 19 September 2018, yang amar putusannya antara lain: “Menyatakan batal Sertipikat Hak Milik Nomor 2503d/Desa Salembaran Jaya, diterbitkan tanggal 21 Januari 1997, Gambar Situasi Nomor 23089 tanggal 23 Agustus 1996, seluas 20.110 M2 atas nama Tonny Permana.
” Putusan PTUN tersebut telah dikuatkan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (incracht) berdasarkan Peninjauan Kembali (PK), Putusan No. 10 PK/TUN/2020, tanggal 30 Januari 2020, yang amar putusannya antara lain: Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali AHMAD GOZALI, MM, Membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 177 K/TUN/2019, tanggal 9 April 2019 yang membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta dengan Putusan Nomor 306/B/2018/PTUN-SRG, tanggal 26 September 2018, Menyatakan batal Sertifikat Hak Milik Nomor 2503/Desa Salembaran Jaya, diterbitkan tanggal 21 Januari 1997, Gambar Situasi Nomor 23089 tanggal 23 Agustus 1996, seluas 20.110 M2 atas nama Tonny Permana.”beber Agus.
Selanjutnya, Kata Agus, berdasarkan Putusan PK tersebut yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, maka telah dilaksanakan eksekusi Putusan PK TUN pada Tanggal 12 Maret 2021, dimana BPN Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang melalui Kantor Wilayah BPN Provinsi Banten telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 2/Pbt/BPN.36/III/2021 tentang Pembatalan Sertipikat Hak Milik Nomor 02503/Salembaran Jaya, Seluas 20.110 M2 Terakhir Tercatat Atas Nama Tonny Permana Terletak Di Kelurahan Salembaran Jaya (Dahulu Desa Salembaran Jaya), Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.
Berdasarkan uraian tersebut diatas terkait adanya pembatalan Sertifikat Hak Milik yang mendasarkan pada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan telah dilaksanakan eksekusinya oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) sesuai kewenangannya, maka secara mutatis muntadis, SHM yang telah dibatalkan tersebut sudah tidak mempunyai kekuatan hukum untuk dijadikan sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah yang menjadi obyek sengketa tersebut.
“Dengan kalimat lain bahwa sertifikat tanah yang telah dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkuatan hukum tetap bukanlah menjadi bukti kepemilikan hak atas tanah dan oleh karenanya sertifikat yang telah dibatalkan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 Ayat (2) UUPA dan pasal 31 PP N0 24 Tahun 1997.”tutup Agus. (Jum/Red)
You must be logged in to post a comment Login