POLITIK
Tentang Rencana Perpres Terorisme, Wayan Sudirta: Pelibatan TNI Harus Sesuai Amanat UU No. 5/2008
Denpasar, JARRRAKPOS.com – Anggota Komisi III DPR RI, Wayan Sudirta, SH., menyatakan bahwa, pembentukan Perpres merupakan kewenangan Presiden secara administratif (implied power). Perpres adalah kewenangan untuk mengkonstruksikan sebuah kebijakan yang lebih detail oleh Presiden. Tentunya dalam kerangka itu, Presiden akan menggunakan berbagai metode terutama metode yang bersifat demokratis dan partisipatif dengan mengajak semua pemangku kepentingan yang terlibat untuk ikut serta di dalam pembahasan.
Sudirta dapat memahami adanya kekuatiran pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme, sebagaimana diwacanakan dalam Rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme, sebagaimana dilontarkan beberapa kalangan. Namun, Sudirta mengingatkan bahwa sepanjang sesuai dengan amanat dari ketentuan Pasal 43I UU No. 5 Tahun 2018, masyarakat tidak perlu kuatir terhadap pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme. Bagaimanapun juga, nyata di Indonesia bahwa terorisme sudah menjadi ancaman serius bagi kedaulatan bangsa dan negara.
Sesuai ketentuan UU No. 5 Tahun 2018 yang memberi waktu setahun untuk melahirkan Peraturan Pelaksanaan, sudah seharusnya ada upaya untuk membuat suatu regulasi untuk melengkapi UU No. 5 Tahun 2018 tersebut. Dan upaya menyiapkan Rancangan Perpres merupakan bentuk tanggung jawab Pemerintah untuk mengantisipasi penanggulangan terorisme. Soal kekuatiran adanya tumpang tindih kewenangan dengan POLRI dan BNPT dalam penanganan terorisme, Sudirta menegaskan, tentu harus sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Ayat 2 huruf b angka 3 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang mengatur tentang 14 Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang menjadi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) TNI.
“Dalam angka 3 ketentuan tentang OMSP disebutkan bahwa tugas pokok selain perang bagi TNI adalah mengatasi aksi terorisme. Agar tidak menimbulkan kekuatiran dan polemik, maka harus diperjelas dalam Perpres yang akan diterbitkan,” kata Sudirta. Pertama, pelibatan militer dalam penanggulangan terorisme merupakan pilihan terakhir setelah instansi keamanan yang ada tidak cukup mampu untuk mengatasi terorisme, atau terkait misi keamanan warga negara Indonesia yang disandera teroris diluar negeri, seperti yang dilakukan pada pembebasan Pesawat Garuda di Bangkok pada tahun 1980-an, atau pembebasan Sandra oleh teroris Abu Sayaf.
‘’Yang terpenting adalah mengatur jika eskalasi ancaman keamanan meningkat dan mengganggu kedaulatan negara, kemudian Presiden menetapkan status keadaan darurat militer,’’ ujar Sudirta. Kedua, prinsip utama yang diatur dalam Perpres, ia harus menekankan pengerahan kekuatan militer dalam OMSP untuk mengatasi terorisme hanya bisa dilakukan jika ada keputusan politik Presiden. Jadi Presiden sangat menentukan peran TNI dalam mengatasi terorisme sehingga secara prinsip ini akan terkait dengan hak darurat (staatnoodsrect) yang dapat diambil Presiden. Konstitusi Indonesia mengatur staatnoodsrect dapat dilihat dalam dua aspek, yakni aspek obyektif dan aspek subyektif.
Secara obyektif tertuang dalam pasal 12 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. Secara subyektif, diatur dalam pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan dalam hal ihwal kegentingan memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. ‘’Dalam konteks ini, kondisi bahaya yang diatur adalah merupakan staatnoodsrect dalam sisi subyektif, dimana TNI dapat terlibat dalam penanganan terorisme,’’ sambung Sudirta.
Ketiga, pelibatan TNI pada intinya bersifat sementara dalam menangani terorisme. “Selain itu, akuntabilitas hukum dalam menangani terorisme sama seperti polisi, dimana TNI harus tunduk pada mekanisme peradilan umum perihal pertanggungjawaban hukumnya, jika terjadi pelanggaran atau kesalahan,” jelas Sudirta. tim/ama