NEWS
Ternyata Diam-diam Pelindo Melakukan Pemotongan Karang di Pelabuhan Benoa, Tanpa Kajian Lingkungan Khusus
Denpasar, JARRAKPOS.com – Pernyataan mencengangkan disampaikan oleh Ketua Tim Amdal mega proyek pelebaran alur di Pelabuhan Benoa. Sebelumnya, pihak Pelindo sempat dipanggil oleh Komisi III DPRD Bali sudah menyatakan tidak ada kegiatan pemotongan karang, selain kegiatan pengerukan alur dan kolam. Namun kenyataannya, menurut keterangan Dr. Gede Dharma Putra yang membuat kajian Amdal di Pelabuhan Benoa mengakui proyek di Pelabuhan Benoa yang dilaksanakan oleh PT Pelindo Sub Regional Bali Nusra telah diam-diam melakukan pemotongan karang, padahal kabarnya belum mengantongi Kajian Lingkungan Khusus. “Mestinya sih sudah karena kapal pesiar besar kan sudah bisa merapat di Benoa (Pelabuhan Benoa, red). Hanya pemotongannya masih sedikit, sehingga masih tidak optimal manuver kapal besar yang datang,” bebernya belum lama ini, seraya menegaskan untuk melakukan pemotongan karang memang harus dilengkapi dengan Kajian Lingkungan Khusus. Alasannya karena karang keras yang dipotong tersebut merupakan karang hidup yang sangat berpengaruh dan berdampak bagi lingkungan. “Pemotongan karang memang wajib dilengkapi Kajian Lingkungan Khusus, karena memastikan dampak lingkungan yang terjadi bisa dikelola,” tegas Konsultan Perijinan teraebut.
Di sisi lain dikatakan, memang benar Amdal untuk pelebaran alur sudah ada. Hanya saja untuk pemotongan karang belum ada Kajian Lingkungan Khusus. “Amdal Pelebaran Alur Pelindo saya Ketua Tim-nya. Sudah ada. Hanya dalam Rencana Pengelolaan Lingkungan harus dilakukan Kajian Lingkungan Khusus lagi kalau pelebaran alur akan memotong karang, karena dalam kajian Amdal karang tersebut termasuk jenis karang yang hidup,” tegasnya, sembari mengaku jika tidak dilakukan pemotongan karang tersebut, maka akan sulit bagi kapal pesiar yang akan bermanuver di Pelabuhan Benoa. Padahal pelabuhan ini akan menjadi Home Port Cruise bagi kapal pesiar di dunia. “Kalau mau sandar di Benoa dulu nakhoda kapal harus sangat trampil dan kapal besar tidak bisa labuh. Salah sedikit kapal bisa benturan dengan karang,” kata Dharma Putra yang berharap agar Pelabuhan Benoa menjadi pelabuhan internasional yang sejajar dengan pelabuhan di negara maju lainnya. “Masalah karang mungkin sebaiknya anggaran yang dihasilkan dari pajak pelabuhan digunakan untuk konservasi karang di daerah wisata lainnya, sehingga pelabuhan bisa mendunia kegiatan konservasi terus berlanjut,” tutup Pakar Lingkungan ini.
Perlu diketahui sebelumnya, Direktur WALHI Bali Made Krisna Dinata, alias Bokis mengaku WALHI Bali baru mengetahui adanya dampak proyek reklamasi yang dilakukan oleh PT. Pelindo Sub Regional Bali Nusra, setelah adanya pengaduan kelompok nelayan dari sejumlah pemberitaan media. Pernyataaan Bokis tersebut nampak aneh, karena mega proyek reklamasi Dumping 1 dan Dumping 2 di Pelabuhan Benoa sudah nampak di depan mata. Namun di sisi lain, sangat getol dan habis-habisan menolak proyek Tersus LNG di Desa Adat Sidakarya, Denpasar yang dirancang Pemprov Bali sebagai sumber utama energi bersih di Bali. Meskipun juga mengaku turut menyoroti keluhan Kelompok Nelayan Penyelam Tradisional Satu Nafas yang keberatan terhadap proyek reklamasi dan pemotongan maupun pendalam alur di Pelabuhan Benoa, namun gaungnya baru-baru ini tidak pernah terdengar
Padahal, Kelompok nelayan tersebut menyampaikan keluhan dan protes langsung ke PT Pelindo Sub Regional Bali Nusra, karena jelas-jelas sangat merugikan dan tanpa kompensasi langsung saat perusahaan BUMN itu tengah melakukan pembangunan mega proyek yang telah mendapatkan bantuan negara yang didapat melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp1,2 triluin untuk mendukung pembangunan BMTH khususnya pengerukan alur dan kolam pelabuhan. Setelah ditanyakan langsung, akhir direktur pecinta dan penyelamat lingkungan ini, meminta pemerintah segera mengambil langkah dan melakukan respon terhadap protes mega proyek di Pelabuhan Benoa. “Mengharapkan pemerintah mengambil langkah tegas merespon secara adil,” ujar Bokis usai Sidang Mediasi Sengketa Informasi dengan pihak Tahura Ngurah Rai di Kantor Komisi Informasi (KI) Provinsi Bali, Renon, Denpasar, pada Rabu (2/11/2022).
Ia mengaku sangat menyayangkan proyek di Pelabuhan Benoa malah menimbulkan dampak yang signifikan terhadap para nelayan, termasuk menimbulkan hektaran mangrove yang mati. Tetapi, dirinya mengaku masih memiliki keterbatasan terhadap data – data mengenai berbagai persolan lingkungan di Pelabuhan Benoa, sehingga masih ada persolan lingkungan belum dapat menjadi perhatian. Salah satunya, pihaknya mengetahui mangrove mati akibat dampak dari Pelindo, setelah melalui press conference oleh Gubernur Bali, Wayan Koster yang meminta PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III saat itu, harus segera menghentikan proyek reklamasi di Pelabuhan Benoa. Alasannya, karena sekitar 17 hektar ekosistem bakau atau mangrove mati, akibat dampak aktivitas reklamasi tersebut. Disisi lain, WALHI Bali juga sudah pernah menegangkan gugatan terhadap proyek reklamasi Pelindo. Di mana Komisi Informasi (KI) Provinsi Bali telah memutus sengketa informasi yang berlangsung di Komisi Informasi bahwa perijinan reklamasi seperti ijin lokasi kegiatan reklamasi, ijin pelaksanaan kegiatan reklamasi, dokumen AMDAL reklamasi Pelindo III Cabang Benoa yang dilakukan di areal Pelabuhan Benoa merupakan dokumen yang wajib dibuka.
Dengan demikian, pihaknya mendukung rencana pikak DPRD Bali untuk memanggil Kelompok Nelayan Penyelam Tradisional Satu Nafas beserta jajaran PT. Pelindo Sub Regional Bali Nusra, jika pembangunan merusak lingkungan. Sebelumnya diketahui, Ketua Komisi III DPRD Bali, AA Ngurah Adi Ardhana mendukung Kelompok Nelayan Penyelam Tradisional Satu Napas agar melaporkan protes ke Ombudsman jika keluhannya tidak tanggapi Pelindo Regional Bali Nusra. “Bagus itu untuk melaporkan ke Ombustman memiliki bukti permulaan sehingga dapat meminta suatu lembaga untuk membuka informasi serta menunjukkan seandai adanya aturan yang dilingkari dan meminta diluruskan,” kata Gung Adhi di Denpasar, Selasa (1/11/2022). Namun, saat Pelindo dipanggil ke DPRD Bali sebelumnya sudah menyatakan tidak ada kegiatan pemotongan terumbu karang, selain kegiatan pengerukan alur dan kolam. Namun pihak DPRD Bali tetap berjanji akan memanggil para pihak untuk menjelaskan fakta-fakta yang ditenggarai melanggar proses kegiatan pengerukan alur dan kolam. “Kalau memang ditemukan fakta oleh kelompok nelayan atas hal-hal yang ditenggarai melanggar, gedung dewan pun sedia untuk memanggil para pihak untuk menjelaskan fakta-fakta tersebut,” ujarnya.
Ditegaskan kembali, Komisi III DPRD Bali memegang keterangan Pelindo bahwa tidak ada kegiatan yang melanggar dan hanya mengeruk alur dan kolam. “Yang pasti Komisi III DPRD Bali memegang keterangan Pelindo bahwa tidak ada kegiatan yang melanggar dan hanya mengeruk alur dan kolam,” ujarnya. Sementara itu, Kepala ORI Perwakilan Bali Ni Nyoman Sri Widhiyanti mendesak Kelompok Nelayan Penyelam Tradisional Satu Nafas agar melapor ke Ombudsman RI, jika keluhannya tidak tanggapi Pelindo Regional Bali Nusra. Namun sebelumnya, kelompok nelayan bisa menyampaikan keluhannya ke PT Pelindo baik lewat surat atau datang langsung menanyakan rencana pembangunan mega proyek Pelindo yang telah mendapatkan bantuan negara yang didapat melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar 1,2 T untuk mendukung pembangunan BMTH khususnya pengerukan alur dan kolam pelabuhan. “Jika tidak ditanggapi pengaduannya, maka bisa dilaporkan ke Ombudsman, setelah keluhannya ke PT Pelindo baik lewat surat atau datang langsung menanyakan,” kata Sri Widhiyanti di Denpasar, Senin (31/10/2022).
Upaya itu dilaksanakan agar bisa dilakukan tindak lanjut oleh Ombudsman baik berupa klarifikasi atau bisa juga dilakukan konsiliasi/ mediasi. Untuk itu, seharusnya dalam setiap rencana pembangunan harus ada sosialisasi kepada masyarakat, terutama masyarakat di sekitar lokasi proyek. Langkah itu dilakukan dalam mencegah konflik atau antisipasi dampak dari pembangunan yang dilaksanakan, apalagi hal itu yang menyangkut publik. “Sudah berapa lama tidak ditanggapi? Kalau sudah lebih 14 hari tidak ditanggapi bisa dilaporkan ke Ombudsman,” tegasnya. Sebelumnya, memang Bandesa Adat Tanjung Benoa, I Made Wijaya, SE alias Yonda menggelar menggelar rapat klarifikasi di Wantilan Desa Adat Tanjung Benoa pada Rabu Sore (24/10/2022). Di mana sebelumnya Kelompok Nelayan tersebut mengeluhkan adanya kekeruhan di laut yang diduga efek pembangunan mega proyek Pelindo, yang imbasnya kelompok nelayan tersebut tidak bisa melakukan aktifitas bekerja. Rapat Klarifikasi tersebut juga dihadiri oleh managemen Pelindo Bali Nusra dan Anggota DPRD Badung, I Wayan Luwir S.Sos. Ketua Kelompok Nelayan “Penyelam Tradisional Satu Napas” Tanjung Benoa Abdul Latif mengkhawatirkan merusak habitat ikan dan terumbu karang.
Oleh karena, dampak pengerukan karang tersebut, air laut menjadi putek (keruh) warna putih. “Anak saya saja tadi malam menyelam cari ikan kesulitan karena air keruh itu,” kata Abdul Latif di Badung, Kamis (27/10/2022). Menurutnya, kerusakan terumbu karang itu bisa berdampak jangka panjang. Nelayan akan kehilangan mata pencaharian, karena tempat habitat ikan rusak. Abdul Latif mengaku adanya penurunan pendapatan sejak enam bulan lalu diperkirakan akibat dampak proyek tersebut. Kelompoknya melakukan protes sejak tiga bulan proyek itu sudah berjalan. Bisanya rata – rata penghasilan mencapai Rp 200 ribu, kini hanya Rp100 ribu. Mereka pun telah melakukan komukasi kepada pihak manajemen PT Pelindo Regional Bali Nusra agar segera mendapatkan penanganan, bahkan sudah menemui Kepala Proyek pembangunan tersebut. “Dalam komunikasi kami dengan mereka, memang benar ada melakukan pengeboran karang, dikatakan dilakukan pengeboran karena karangnya keras,” ungkapnya. Mengingat belum mendapatkan respon sesuai harapan Kelompok “Penyelam Tradisional Satu Nafas”, melayangkan surat keperihatinan kepada PT. Pelabuhan Indonesia (Persero) yang ditandatangani oleh Ketua Abdul Latif dan Sekretarisnya Badarudin beserta 38 orang anggotanya, pada Senin, 17 Oktober 2022.
Mereka beranggotakan sebanyak 33 orang, namun pihaknya pun mengajak para nelayan yang merasakan dampak yang sama untuk melakukan protes kepada Pelindo. Pihaknya sangat proaktif menanyakan proses pembangunan Pelindo yang berdampak langsung terhadap tempat mereka menangkap ikan. Namun, Pelindo memang tidak ada melakukan sosialisasi terhadap kelompoknya. Kelompok Nelayan “Penyelam Tradisional Satu Napas” Tanjung Benoa merupakan salah satu kelompok nelayan dari sekitar 10 kelompok di daerah Tanjung Benoa. “Sehubungan dengan adanya pengerukan untuk yang kesekian kalinya di Teluk Benoa menimbulkan kekhawatiran kami atas pembangunan perluasan wilayah pelabuhan yang tentunya tidak dapat dihindari akan mempersempit keberadaan tempat-tempat ikan berkembang biak juga dapat merusak terumbu-terumbu karang yang butuh ratusan tahun untuk tumbuh dan berkembang,” ujarnya. Abdul Latif juga menyesalkan bahwa pihak pengembang tidak pernah mengajak pihaknya untuk berdialog sebagai masyarakat yang masih menggantungkan hidup dari keberlangsungan areal kawasan Teluk Benoa dan seyogyanya keberadaan kelompoknya yang sudah turun-temurun menjadi nelayan penyelam tradislonal tidak seharusnya di lupakan keberadaanya.
“Kami tidak pernah diajak untuk berdialog urun-rembuk sebelumnya dan tidak ada sosialisasi padahal kami adalah termasuk ring satu dan masyarakat bawah yang terdampak langsung dari setiap adanya kegiatan proyek di areal pelabuhan. kami memahami bahwa tuntutan kemajuan dan pariwisata membutuhkan fasilitas yang lebih baik,” jelasnya. Ia pun membeberkan sejumlah permasalahan yang saat ini mereka alami selaku Kelompok Nelayan Penyelam Tradisional yang merasa dirugikan yang mana Perairan Teluk Benoa merupakan sumber mata pencaharian utama bagi para Nelayan Tradisional khususnya Penyelam Penembak ikan yang sudah sejak lama mewarisi kearifan nenek moyang mereka dan masih dipertahankan hingga saat ini, hingga pihaknya melayangkan surat pengaduan yang berisi 5 poin, yakni:
1. Bahwa kami sangat merasakan dampak langsung dari kegiatan [pengurugan] tersebut, di antaranya tingkat kekeruhan air di sekitar Teluk Benoa beberapa bulan terakhir sangat mengkhawatirkan.
2. Menyulitkan kami untuk mengatur waktu dan lokasi penyelaman karena sedikitnya waktu tenggang untuk air jernih yang bisa bertahan di dalam Teluk Benoa.
3. Berdampak sangat signifikan kepada hasil tangkapan kami yang tentunya berakibat makin rendahnya daya Jual kami untuk menghidupi keluarga. Sebagaimana diketahui banyak dari masyarakat kami sejak pandemi beralih profesl menjadi nelayan, karena kehilangan pekerjaan atau dirumahkan
4. Adapun penghasilan kami sebelum adanya pengerukan dilakukan dengan kondisi air laut yang tidak keruh dan jemih berjumlah sebesar Rp200.000.- per hari.
5. Semenjak adanya pcngerukan yang membuat air menjadi sangat keruh pendapatan kami menurun antara 60% hingga 80%.
“Kami menuntut hak kami yang terampas, karena selama adanya kegiatan pengerukan air di sekitar Teluk Benoa menjadi keruh. Kami para penyelam tradisional yang terdampak langsung dari kegiatan tersebut. jadi kami bukan minta-minta seoerti yang di tafsirkan,” ujarnya. Untuk itu, pihaknya menuntut hak sebagai termasuk korban dari pengerukan untuk pengembangan Pelabuhan Benoa. tim/ama/aya/tra/ksm
You must be logged in to post a comment Login