NEWS
Zarof Ricar Minta Dibebaskan, Akibat JPU Teledor Tak Uraikan Asal-Usul Uang Rp. 920 Milyar Dalam Surat Dakwaan, Jampidsus Harus Dicopot

Jarrakpos.com JAKARTA – Seperti sudah diduga, Mafia Kasus Satu Triliun, Zarof Ricar mantan Kepala Balitbang Diklat Kumdil MA RI RI dalam pembacaan eksespi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (17/02/2025) meminta kepada kepada majelis hakim menyatakan dakwan JPU batal demi hukum, dan mengeluarkan terdakwa dari tahanan. Karena Surat Dakwaan JPU tidak mengurai perbuatan terdakwa dan asal usul uang suap sebesar Rp. 920 milyar dan 51 kilogram emas. Sehingga surat dakwaan dikualifisir kabur (obscur libeli).
Zarof Ricar seperti diberi celah perlindungan oleh Jampidsus Febrie Adriansyah untuk dapat divonis bebas. Fakta ini memperkuat konfirmasi telah terjadi kejahatan “memberantas korupsi sembari korupsi” yang diduga dilakukan oleh Jampidsus Febrie Adriansyah dalam penyidikan perkara korupsi suap Ronald Tannur. Melalui perumusan surat dakwaan terhadap terdakwa Zarof Ricar , Jampidsus Febrie Adriansyah terindikasi ingin melindungi pula nama-nama yang terduga pemberi dan penerima suap, yang beririsan dengan barang bukti uang senilai Rp. 920 milyar. Yakni antara lain Gunawan Yusuf pemilik PT. Sugar Group Company, Sunarto, Ketua MA, Majelis hakim agung PK Ke-I, No. 818 PK/Pdt/2018 tanggal 2 Desember 2019 dan majelis hakim agung yang memegang perkara kasasi No. 1697 K/Pdt/2015 tanggal 14 Desember 2015.
“Presiden Prabowo Subianto harus mencopot Jampidsus Febrie Andriansyah karena selama ini sudah seperti Raja Kecil yang tidak tersentuh hukum” ujar Jerry Massie , Direktur Political and Public Policy Studies (P3S) kepada wartawan di Jakarta, Senin (17/02/2025).
Sebelumnya, dalam menangani kasus korupsi Jiwasraya dengan terdakwa Heru Hidayat dan kawan-kawan, yang merugikan negara sebesar Rp. 16,8 triliun, Jampidsus Febrie Adriansyah dituding oleh penggiat anti korupsi melakukan dugaan kejahatan “memberantas korupsi sembari korupsi”. Lelang saham perusahaan tambang batubara PT. Gunung Bara Utama — aset terpidana Heru Hidayat yang disita senilai Rp. 12,5 triliun itu di mark-down menjadi Rp. 1,945 triliun, melalui proses lelang yang diduga direkayasa, dengan memakai appraisal fiktip dari 2 (dua) Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).
Lelangnya sendiri dimenangkan oleh PT. Indobara Utama Mandiri, yang disetting sebagai satu-satunya perusahaan yang mengikuti lelang. PT. Indobara Utama Mandiri baru didirikan tiga bulan sebelum lelang dilaksanakan oleh Andrew Hidayat, mantan terpidana kasus korupsi suap, pemilik PT. MMS Group Indonesia — pemegang saham perusahaan tambang batubara PT. Multi Harapan Utama — dan PT. Indotama Semesta Manunggal. Kini dugaan korupsi lelang saham PT. Gunung Bara Utama tengah menjadi obyek penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada tanggal 27 Mei 2024, Koalisi Sipil Selamatkan Tambang (KSST) yang terdiri dari MAKI, Jatam, IPW, Ekonom almarhum Faisal Basri, dan praktisi hukum Deolipa Yumara, SH telah melaporkan Jampidsus Febrie Adriansyah ke KPK.
Kasus lain “memberantas korupsi sembari korupsi” adalah terkait Tan Kian yang tidak ditetapkan sebagai tersangka dalam penyidikan perkara korupsi Jiwasraya. Padahal terdapat fakta persidangan terdakwa Benny Tjokrosaputro, bahwa aliran pencucian uang Benny Tjokro turut mengalir ke Tan Kian sebesar Rp. 1 triliun hasil penjualan apartemen South Hill di Kuningan Jakarta Selatan, sebagaimana yang dinyatakan majelis hakim dalam pertimbangan putusan. Dalam dalam konteks kasus korupsi Jiwasraya dipersoalkan pula oleh anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Parta Demokrat, Benny K. Harman atas tidak ditetapkannya sebagai tersangka terhadap pemilik Bank Mayapada Datuk Tahir.
Demikian pula dalam penanganan kasus korupsi timah senilai Rp271 triliun, Jampidsus Febrie Adriansyah diduga pula melakukan pemberantasan korupsi sembari korupsi dengan tidak menetapkan Robert Bonosusatya alias RBT sebagai tersangka. Padahal menurut Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Robert Bonosusatya menjadi dalang utama dalam kasus korupsi timah. Dalam temuan lain terjadi pula peristiwa memberantas korupsi sembari korupsi dalam penyidikan perkara korupsi Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tata Kelola Batubara di Kalimantan Timur senilai Rp 1 Triliun, dengan tersangka Asun alias Suntoro yang hingga kini tidak pernah ditangkap.
Kecurigaan Komisi III DPR RI Terbukti
Tidak diuraikannya dalam surat dakwaan mengenai asal usul sumber uang suap sebesar Rp. 920 milyar memang mencurigakan. Pasalnya, sebagaimana yang telah riuh diberitakan, sumber uang suap itu diduga berasal dari penanganan perkara sengketa perdata antara SGC Dkk melawan MC Dkk, yang diwarnai skandal Hakim Agung Syamsul Maarif yang nekat menabrak Pasal 17 ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Syamsul Maarif adalah hakim agung yang memutus perkara Peninjauan Kembali (PK) No. 1362 PK/PDT/2024, tanggal 16 Desember 2024 — hanya dalam tempo 29 hari.
PK No. 1362 PK/PDT/2024, tanggal 16 Desember 2024 itu sendiri, terkait perkara sengketa perdata antara PT. Sugar Group Company (SGC) milik Gunawan Yusuf Dkk melawan Marubeni Corporation (MC) Dkk, bernilai triliunan rupiah, yang pada tahun 2010 telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkraht), berdasarkan putusan kasasi No. 2447 K/Pdt/2009 tanggal 19 Mei 2010 dan No. 2446 K/Pdt/2009 tanggal 19 Mei 2010, dimenangkan oleh MC Dkk. Dan pihak SGC Dkk tidak melakukan upaya hukum PK.
Anggota Komisi III DPR RI, Hasbiallah Ilyas heran dan curiga jaksa tak mengungkap asal-usul uang Rp. 920 milyar dan emas 51 kilogram yang menjadi bahan mendakwa Zarof Ricar. Dia mengatakan, transparansi terkait asal usul uang haram tersebut sangat penting untuk mengungkap mafia praktek makelar kasus di tingkat MA. Komisi III DPR RI memberikan dukungan untuk menuntaskan misteri gratifikasi Zarof Ricar. Selain jumlahnya yang fantastis, menurutnya kasus ini telah menjadi perhatian publik nasional dan internasional. “Saya akan minta kepada pimpinan DPR RI untuk memanggil Jampidsus Febrie Adransyah untuk dimintakan penjelasan “ tukasnya.
Asal Usul Uang Suap Sudah Benderang.
Praktek Mafia Hukum, Jadi Jurus Ngemplang Utang
Lalu apa kaitannya perkara sengketa perdata antara SGC Dkk melawan MC Dkk, dengan dugaan korupsi makelar kasus Zarof Ricar, yang dikenal sebagai orang kepercayaan Ketua MA, Sunarto, yang diduga berperan sebagai kasir itu ?
Bermula — penyidik pada Jampidsus Kejagung menggeledah rumah kediaman Zarof Ricar di bilangan Jl. Senayan No. 8, Kel. Rawa Barat, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan menemukan berbagai mata uang asing total sebesar Rp. 920 milyar, selain 51 kilogram emas. Lalu penyidik menemukan bukti catatan tertulis antara lain “Titipan Lisa“, “Untuk Ronal Tannur:1466/Pid.2024”, “Pak Kuatkan PN”. Namun menurut sumber di Gedung Bundar selain itu sebenarnya terdapat pula bukti catatan tertulis “Perkara Sugar Group Rp. 200 milyar”. Apabila bukti catatan itu benar, uang sebesar Rp. 200 milyar itu patut diduga sebagai titipan untuk hakim agung yang menangani perkara sengketa perdata antara PT. Sugar Group Company (SGC) milik Gunawan Yusuf, Dkk melawan Marubeni Corporation (MC) Dkk.
Persoalannya, putusan kasasi dan PK terkait perkara SGC versus MC cukup banyak. Karena mengalami daur ulang berkali-kali. Namun menurut seorang sumber, Zarof Ricar sudah “bernyanyi” di hadapan penyidik. Patut diduga uang suap Rp. 200 milyar itu terkait putusan Kasasi No. 1697 K/Pdt/2015 tanggal 14 Desember 2015 jo PK Ke-I No. 818 PK/Pdt/2018 tanggal 2 Desember 2019 jo PK Ke-II No. 887 PK/Pdt/2022 tanggal 19 Oktober 2023, yang merupakan upaya hukum lanjutan yang tergolong nebis idem yakni putusan-putusan No. 373/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst tanggal 1 Maret 2012 jo PT DKI Jakarta No. 75/Pdt/2013/PT.DKI tanggal 22 April 2013. Konon Zarof Ricar sudah mengaku dengan menyebut nama-nama hakim agung yang terlibat, termasuk seorang mantan Ketua Kamar Perdata MA yang berasal dari Lampung. Namun keterangan Zarof Ricar tidak ditindaklanjuti oleh penyidik. Agak mengherankan, Jampidsus Febrie Adriansyah berdalih penyidik tidak harus memeriksa A apabila tersangka menyebutkan A.
Dari hasil penelusuran, tercatat hakim agung yang duduk pada majelis putusan kasasi No. 1697 K/Pdt/2015 tanggal 14 Desember 2015, adalah (1) dan Sultoni Mohdally, SH, (2) Dr. Nurul Elmiyah, SH, MH, dan (3) Dr. H. Zahrul Rabain, SH, MH. Majelis hakim agung PK Ke-I, No. 818 PK/Pdt/2018 tanggal 2 Desember 2019, adalah: (1) Dr. H. Sunarto, (2) Maria Anna Samayati, SH, MH, dan (3) Dr. Ibrahim, SH, MH. Sedangkan majelis hakim agung PK Ke-II, No. 887 PK/Pdt/2022 tanggal 19 Oktober 2023, adalah: (1) Syamsul Maarif, SH, LLM, Ph.D, (2) Dr. H. Panji Widagdo, SH, MH, (3) Dr. Nani Indarwati, SH, M.Hum, (4) Dr. H. Yodi Martono Wahyunandi, SH, MH dan (5) Dr. Lucas Prakoso, SH. Dua hakim agung yang disebut terakhir dissenting opinion.
Masih tersisa dua perkara MC melawan Sugar Group yang belum diputus Mahkamah Agung, yang berpotensi melanggar Pasal 17 ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman. Yakni perkara No. 1363 PK/Pdt/2024 jo Putusan No. 141/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst tertanggal 6 April 2020 dimana M. Yunus Wahab tetap tidak mengundurkan diri sebagai hakim agung yang memeriksa perkara. Padahal sebelumnya dalam perkara No. 447 PK/Pdt/2022 jo No. 18/Pdt.G/2010/PN.GS, hakim agung M. Yunus Wahab sudah ikut menjadi hakim pemeriksa. Dan anehnya, Ketua MA, Sunarto melakukan pembiaran terhadap hakim agung M. Yunus Wahab yang terang-terangan melanggar Pasal 17 ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kasusnya sendiri berdasarkan hasil eksaminasi P3S, bermula ketika Gunawan Yusuf Dkk melalui PT. GPA pada 24 Agustus 2001 menjadi pemenang lelang PT. Sugar Group Company (SGC) — aset milik Salim Group — yang diselenggarakan BPPN dengan kondisi apa adanya ( as is), senilai Rp. 1,161 Triliun. Ketika akan dilelang, semua peserta lelang termasuk GPA telah diberitahu segala kondisi dari SGC tentang aktiva, pasiva, utang dan piutangnya. SGC yang bergerak dalam bidang produksi gula dan etanol ternyata memiliki total utang triliuan kepada MC, yang secara hukum tentu menjadi tanggung jawab Gunawan Yusuf Dkk selaku pemegang saham baru SGC. Akan tetapi Gunawan Yusuf menolak membayar dengan dalih utang SGC kepada MC senilai triliunan rupiah itu hasil rekayasa bersama antara Salim Group (SG) dengan MC.
Diduga untuk mensiasati agar dapat ngemplang utang yang bernilai triliunan rupiah itu dibangun dalil yang diduga palsu, yang pada pokoknya menyatakan utang itu hasil rekayasa bersama antara SG dengan MC, sebagaimana yang dituangkan dalam surat gugatan Gunawan Yusuf Dkk melalui PT. SI, PT. IP, PT. GPM, PT. IDE, dan PT. GPA menggugat MC Dkk melalui PN Kota Bumi dan PN. Gunung Sugih, teregister dalam perkara No. 12/Pdt.G/2006/PN/GS dan No. 04/Pdt.G/2006/PN.KB. Namun pada ujung perkara, Gunawan Yusuf Dkk kalah telak, sebagaimana putusan kasasi No. 2447 K/Pdt/2009 tanggal 19 Mei 2010 dan No. 2446 K/Pdt/2009 tanggal 19 Mei 2010, yang telah berkekuatan hukum tetap (inkraht).
Dalam pertimbangannya majelis hakim menegaskan, tuduhan bahwa utang itu hasil rekayasa bersama antara Salim Group dengan Marubeni Corporation ternyata tidak mengadung unsur kebenaran. Terbukti pinjaman kredit luar negeri itu sudah di laporkan kepada Bank Indonesia dan terlihat dalam Laporan Keuangan dari tahun 1993 (SIL) dan tahun 1996 (ILP) sampai dengan tahun 2001. Adanya rekayasa justeru dibantah sendiri oleh Gunawan Yusuf melalui kuasa hukumnya berdasarkan bukti surat tertanggal 21 Februari 2003 yang pada pokoknya menyatakan ingin menyelesaikan kewajiban pembayaran utang dan bersedia melakukan pembahasan sehubungan dengan rencana pemangkasan sebagian hutang (haircut).
Ketidakbenaran tuduhan rekayasa diperkuat dengan bukti surat tertanggal 12 Maret 2003, yang pada pokoknya Gunawan Yusuf menawarkan untuk menyelesiakan kewajibannya dengan menerbitkan promissory note senilai usd 19 juta. Berdasarkan dua putusan kasasi tersebut, pada pokoknya SGC diputuskan tetap memiliki kewajiban pembayaran utang kepada MC, yang bernilai triliunan rupiah.
Gunawan Yusuf tak menyerah. Ia tidak melakukan peninjauan kembali terhadap putusan kasasi No. 2447 K/Pdt/2009 tanggal 19 Mei 2010 dan No. 2446 K/Pdt/2009 tanggal 19 Mei 2010. Namun lebih memilih mendaftarkan empat gugatan baru secara sekaligus. Memanfaatkan azas ius curia novit, sebagaimana ditegaskan Pasal 10 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara. Dalam empat gugatan baru tersebut, materi pokok perkara sejatinya sama dengan putusan kasasi No. 2447 K/Pdt/2009 dan No. 2446 K/Pdt/2009 yang telah berkekuatan hukum tetap (inkraht). Dari sinilah dugaan suap Rp. 200 milyar oleh Sugar Group itu mencuat. ()
You must be logged in to post a comment Login